Wednesday, 27 December 2017

HUKUM MASAKAN YANG DIBERI RHUM

Hukum Masakan yang Diberi Rhum?

Masakan yang Diberi Rhum

Tanya tadz, terkait kuliner nih, Apa hukum makanan yang diberi rhum? Trima kasih

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita akan pahami, apa itu rhum.

Tidak masalah, jika semacam ini kita ambil dari tulisan di wikipedia,

Rum (rhum) adalah minuman beralkohol hasil fermentasi dan distilasi dari molase (tetes tebu) atau air tebu yang merupakan produk samping industri gula. Rum hasil distilasi berupa cairan berwarna bening, dan biasanya disimpan untuk mengalami pematangan di dalam tong yang dibuat dari kayu ek atau kayu jenis lainnya.

Rum terdiri dari berbagai jenis dengan kadar alkohol yang berbeda-beda. Rum berwarna cokelat keemasan dan gelap dipakai untuk memasak, membuat kue. Rhum dikenal sebagai minuman perompak dan Angkatan Laut Kerajaan Inggris. [https://id.wikipedia.org/wiki/Rum]

Rhum cake umumnya memiliki kadar alkohol di atas 30%.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 86/ Menkes/ Per/ IV/ 77 tentang minuman keras.

Minuman beralkohol dikategorikan sebagai minuman keras dan dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan persentase kandungan etanol volume per volume pada suhu 20 oC.

Golongan A: Minuman dengan kadar etanol 1 – 5 persen.

Golongan B: Minuman dengan kadar etanol lebih dari 5 persen sampai dengan 20 persen.

Golongan C: Minuman dengan kadar etanol golongan C mengandung etanol lebih dari 20 persen sampai dengan 55 persen.

Rhum itu Khamr

Rhum dengan kadar alkohol 30%, jelas memabukkan. Sehingga kita yakin, cairan ini termasuk khamr. Berlaku semua hukum khamr. Tidak ada toleransi, meskipun sedikit.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ

“Semua yang memabukkan itu haram. Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikit-pun haram.” (HR. Ahmad 5781, Nasai 5625, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Hukum Rhum di Makanan

Ada dua pendekatan ulama untuk menghukumi makanan yang dicampur khamr.

Pertama, dihukumi haram karena khamr itu najis

Ulama yang berpendapat khamr najis, melarang keras mencampurkan adonan dengan khamr, apapun jenisnya. Karena berarti mencampurkan benda najis dengan bahan makanan, dan itu terlarang.

As-Sarkhasi mengatakan,

ولو عجن الدقيق بالخمر , ثم خبز كرهت أكله ; لأن الدقيق تنجس بالخمر , والعجين النجس لا يطهر بالخبز , فلا يحل أكله

Jika adonan tepung dicampur dengan khamr, lalu dibuat roti, aku tidak mau memakannya. Karena adonan tepung tadi telah jadi najis dengan khamr. Sementara adonan najis, tidak bisa disucikan dengan diopen jadi roti, sehingga tidak halal dimakan. (al-Mabsuth, 24/48)

Kedua, dihukumi haram, karena sama dengan mengkonsumsi khamr

Terlepas dari masalah kenajisan khamr, mencampurkan khamr ke dalam makanan, kemudian dimasak, tetap dihukumi haram. Karena bisa dipastikan, unsur tidak hilang semua.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

طبخ بالخمر لحما فأكل من مرقته فعليه الحد ; لأن عين الخمر موجودة . وكذلك إن لَتَّ ( أي عجن ) به سويقا فأكله ، نص على ذلك الشافعية , والحنابلة

Memasak daging dengan khamr, lalu ada orang yang makan dengan kuahnya, maka dia terkena hukuman had (cambuk karena khamr). Karena khamrnya ada. Demikin pula, ketika tepung dibuat adonan dengan khamr, lalu dimakan, dia mendapat hukuman. Sebagaimana ditegaskan Syafiiyah dan Hambali. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 25/95).

As-Sarkhasi juga mengatakan,

فإن صنع الخمر في مرقة , ثم طبخ لم يحل أكله , ولا يحل هذا الصنع ; لأن فيه استعمال الخمر

Jika ada orang yang menggunakan khamr untuk kuah, kemudian dimasak, maka tidak halal dimakan. Dan tidak halal membuat semacam ini, karena menggunakan khamr. (al-Mabsuth, 24/47).

Dengan demikian, terlarang hukumnya menggunakan rhum untuk campuran masakan, baik yang belum dimasak maupun sesudah dimasak. Hindari khamr sebisa mungkin dari lingkungan kita. Jauhkan rhum dari rumah kita. Karena Allah perintahkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. al-Maidah: 90)

Dalam ayat di atas, Allah menghina khamr dengan beberapa sebutan,

[1] Itu benda rijs (najis)[2] Itu amal dan perbuatan setan[3] Jauhi khamr[4] Jika tidak, maka kita tidak beruntung

Allahu a’lam 

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/25766-hukum-masakan-yang-diberi-rhum.html

APA BENAR TAPE ITU TERMASUK ALKOHOL

Apa Benar Tape Itu Termasuk Alkohol?

Pertanyaan:

Apa hukum makan tape (ketan atau singkong), karena di dalamnya ada alkohol?

Jawaban:

Tape halal, tidak ada yang perlu dirumitkan dalam masalah ini, karena yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan dan minuman yang memabukkan, dan pengertian memabukkan adalah yang menghilangkan akal disebabkan oleh makanan atau minuman tersebut. Oleh karenanya, jika makanan tersebut dikonsumsi dengan banyak lalu memabukkan, maka mengkonsumsinya meski sedikit pun menjadi haram, berdasarkan sabda Rasulullah,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَا أَسْكَرَ مِنْهُ الْفَرْقُ فَمِلْءُ الْكَفِّ مِنْهُ حَرَامٌ

“Dari Aisyah, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Setiap yang memabukkan itu haram, dan kalau (minum) satu gentong itu memabukkan, maka meminum satu ciduk tangan pun haram.’” (Hr. Abu Daud: 3587, Tirmizi: 1928, dengan sanad shahih)

Dengan ini, maka illat dan patokannya adalah apakah makanan atau minuman tersebut memabukkan ataukah tidak. Kalau memabukkan berarti haram, sedangkan kalau tidak, berarti halal. Bukan karena ada unsur alkohol ataukah tidak, karena makanan yang mengandung unsur alkohol tidak hanya tape, tetapi juga beberapa buah-buahan, seperti durian, juga minuman yang diambil dari buah pohon siwalan (legen, dalam bahasa Jawa). Bahkan, nasi pun mengandung unsur alkohol.

Namun ada dua hal yang perlu diingat:

Harap dibedakan antara memabukkan (hilang akal) dengan sakit mabuk karena makan makanan tertentu. Bisa saja sebuah makanan menyebabkan sakit bila dikonsumsi, mungkin karena berlebihan atau mungkin karena alergi. Namun, ini bukan termasuk makanan yang memabukkan karena memabukkan adalah menghilangkan akal.Patokan apakah makanan atau minuman itu memabukkan ataukah tidak adalah jika makanan tersebut dikonsumsi oleh orang yang belum pernah minum minuman keras, bukan orang yang sudah biasa teler karena sering minum minuman keras. Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 12, tahun ke-7, 1430 H/2009 M.

(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/1929-apa-benar-tape-itu-termasuk-alkohol.html

MAKANAN TERCAMPUR RHUM, APA ITU RHUM

Hukum Mengkonsumsi Makanan yang Tercampur Rhum

Rum (rhum) adalah minuman beralkohol hasil fermentasi dan distilasi dari molase (tetes tebu) atau air tebu yang merupakan produk samping industri gula. Rum hasil distilasi berupa cairan berwarna bening, dan biasanya disimpan untuk mengalami pematangan di dalam tong yang dibuat dari kayu ek atau kayu jenis lainnya. Produsen rum terbesar di dunia adalah negara-negara Karibia dan sepanjang aliran Sungai Demerara di Guyana, Amerika Selatan. Selain itu, pabrik rum ada di negara-negara lain di dunia seperti Australia, India, Kepulauan Reunion.

Berbagai Makanan yang Menggunakan Rhum

Rum terdiri dari berbagai jenis dengan kadar alkohol yang berbeda-beda. Rum putih umum digunakan sebagai pencampur koktail. Rum berwarna cokelat keemasan dan gelap dipakai untuk memasak, membuat kue, dan juga pencampur koktail. Hanya rum berkualitas tinggi saja yang biasa diminum polos tanpa pencampur atau ditambah es batu (on the rocks). Rum memegang peranan penting dalam kebudayaan orang-orang di Hindia Barat, dan dikenal sebagai minuman perompak dan Angkatan Laut Kerajaan Inggris.[1]

Berita Republika menyebutkan, “Kue-kue dari hotel dan bakery terkenal kerap menggunakannya dalam taart, dan sus. Vla di dalam sus menjadi lebih lezat bila dicampurkan rhum. Cake aneka buah juga biasanya menggunakan rhum. Biasanya sebelum dicampur ke dalam cake, buah direndam dulu ke dalam rhum agar aromanya menjadi lebih menggugah selera.”[2]

Rhum Termasuk Minuman Keras

Kandungan Alkohol dalam Rhum termasuk tingkat tinggi yaitu sekitar 38%. Rhum termasuk golongan C dalam pembagian minuman keras sebagaimana penjelasan berikut ini.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 86/ Menkes/ Per/ IV/ 77 tentang minuman keras, minuman beralkohol dikategorikan sebagai minuman keras dan dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan persentase kandungan etanol volume per volume pada suhu 20oC.

Golongan A: Minuman dengan kadar etanol 1 – 5 persen.

Golongan B: Minuman dengan kadar etanol lebih dari 5 persen sampai dengan 20 persen.

Golongan C: Minuman dengan kadar etanol golongan C mengandung etanol lebih dari 20 persen sampai dengan 55 persen.[3]

Rhum Jelas Haramnya

Berdasarkan penjelasan di atas karena rhum menimbulkan efek memabukkan, maka ia jelas dihukumi haram. Ingatlah, segala sesuatu yang memabukkan termasuk khomr dan setiap yang memabukkan pastilah haram. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Setiap yang memabukkan adalah khomr. Setiap yang memabukkan pastilah haram.”[4]

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ

“Setiap minuman yang memabukkan, maka itu adalah haram.”[5]

Kami nukilkan pula pembahasan dari Republika sebagai berikut.

Rhum menurut relawan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Kosmetika dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), KA Endin, digolongkan ke dalam khamr. Kandungan alkoholnya cukup tinggi. Karena itu fatwanya pun jelas: haram. ”Sedikit atau banyak, khamr itu haram hukumnya,” kata Endin ketika ditemui di kantornya Jumat (26/7).[6]

Bagaimana Jika Mengkonsumsi Sedikit Rhum?

Seperti ini pun tetap tidak dibolehkan. Ada kaedah yang perlu diperhatikan dalam masalah khomr, “Jika meminum khomr dalam jumlah banyak, bisa memabukkan, maka meminum satu tetes saja tetap haram.” Dasar dari kaedah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikitnya dinilai haram.”[7]

Dari sini, jika meminum rhum satu liter menimbulkan efek memabukkan, maka meminum satu tetes rhum saja tetap haram walaupun tidak mabuk.

Mudah-mudahan paham dengan penjelasan ini.

Jika Makanan Tercampur Rhum

Sudah dijelaskan bahwa rhum sering sekali digunakan sebagai penyedap rasa. Ini artinya rhum yang termasuk khomr bercampur dengan makanan seperti kue, blackforest, dsb.

Walaupun campuran rhum tersebut dalam kue atau makanan sedikit, tetap dihukumi haram. Karena ini berarti mengkonsumsi khomr dalam jumlah sedikit. Sekali lagi kita perlu memperhatikan kaedah yang telah kami utarakan, “Sesuatu yang apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak memabukkan, maka dikonsumsi satu tetes saja tetap haram walaupun tidak memabukkan.” Ini berarti makanan yang tercampur rhum semacam ini tetaplah haram.

Selanjutnya kami kemukakan sebuah penjelasan dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa, Saudi Arabia),

“Apabila kadar alkohol –apabila alkohol tersebut dikonsumsi dalam jumlah banyak, memabukkan-, maka tidak boleh menggunakan alkohol tersebut baik sedikit ataupun banyak, baik digunakan dalam makanan, minuman, wewangian atau obat-obatan.”[8]

Begitu pula hal ini tidak berlaku hanya untuk rhum saja, namun jenis arak atau minuman keras lainnya. Jika miras sedikit saja bercampur dalam makanan, maka makanan semacam ini sudah sepantasnya untuk dijauhi. Sebagaimana informasi yang kami baca, banyak sekali kita jumpai campuran miras pada masakan China atau Jepang. Sudah seharusnya kita semakin waspada untuk menjauhi yang syubhat (samar) apalagi yang haram. Hanya Allah yang beri taufik.

Hukum Menggunakan Flavor (Essence) Rhum

Untuk menyiasati konsumen yang tak mau memakai rhum, produsen menciptakan flavor (essence) rhum dan perasa buah lainnya. Maksud flavor rhum adalah penyedap rasa dan aroma yang sama dengan rhum. Benda tersebut diklaim bukan rhum. Hanya rasa dan aromanya menyerupai rhum asli.

Berikut penjelasan dari tim auditor LP POM MUI-Jurnal Halal dari Republika.

Pertanyaan:

Assalaamualaikum wr wb,

Ketika anak saya berulang tahun, saya membeli kue tart untuk ulang tahun di sebuah toko roti dan kue di daerah Cimanggis. Waktu itu sudah malam dan buru-buru, sehingga tidak sempat mengecek dan mencium baunya. Sampai di rumah baru ketahuan bahwa kue tart tersebut memancarkan aroma khas minuman beralkohol yang saya duga berasal dari rhum.

Pertanyaan saya adalah, bolehkah rhum itu dipakai dalam kue tart, karena setahu saya proses pembuatan kue itu melalui pemanggangan dengan suhu tinggi dan diperkirakan alkoholnya sudah menguap? Sekarang ini banyak dijual juga rhum essence khusus untuk membuat kue. Yang saya tahu, essen tersebut bukan minuman keras. Katanya ia hanya perasa yang memiliki aroma dan rasa mirip dengan rhum. Bolehkan rhum essence tersebut digunakan? Terima kasih atas jawaban dan penjelasannya.

Wassalam,

Endang SES,Komplek Timah, Cimanggis, Depok

Jawaban:

Rhum adalah salah satu jenis minuman keras dengan kandungan alkohol di atas 10%, yang masuk dalam kategori khamer (minuman yang memabukkan). Hukum khamer dalam Islam adalah haram. Yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga haram. Oleh karena itu rhum dalam jumlah banyak maupun sedikit sama saja, yaitu tetap haram. Dalam pembuatan kue yang mengalami proses pemanggangan, alkohol dari rhum tersebut bisa saja menguap. Tetapi rhumnya sendiri masih ada, dengan aroma dan rasa rhum yang memang diinginkan. Dengan demikian rhum dalam kue tersebut masuk dalam kategori haram, meskipun akhirnya alkohol itu bisa saja menguap.

Segala sesuatu yang mengarah kepada yang haram sebaiknya dihindarkan. Rhum dengan aroma dan rasanya yang khas saat ini bisa ditiru dengan bahan-bahan sintetis. Tetapi ingat, bahwa membiasakan diri kita dan anak-anak kita kepada rasa dan aroma minuman keras, membuat kita lebih cenderung dan bisa menikmati aroma dan rasa tersebut. Lama-kelamaan kita menjadi semakin akrab dan menyenagi rasa tersebut dan pada akhirnya ingin juga mencoba yang aslinya.Menghindari kemudhorotan lebih diutamakan dalam Islam. Oleh karena itu penggunaan rhum essen tersebut lebih baik ditinggalkan. Dalam hal ini Komisi Fatwa MUI telah menyatakan haram bagi penggunaan aroma dan rasa haram (seperti rasa babi dan rasa rhum, meskipun tidak ada babi atau rhumnya) serta penggunaan nama-nama haram dalam suatu makanan (seperti mie rasa babi, meskipun tidak ada babinya).[9]

Demikian pembahasan kami mengenai rhum dalam makanan. Semoga Allah memudahkan kita mengkonsumsi yang halal dan menjauhkan kita dari setiap perbuatan yang dilarang.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Teknik Kimia UGM 2002-2007)

Sumber : https://rumaysho.com/814-hukum-mengkonsumsi-makanan-yang-tercampur-rhum.html

Monday, 25 December 2017

TAYAMUM DI PESAWAT

Tidak Sah Tayamum di Pesawat?

Tayamum di Pesawat

Bolehkah tayamum dengan dinding kabin atau jok pesawat?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Al-Quran menyebutkan bahwa media yang bisa digunakan untuk tayamum adalah sha’id. Allah berfirman,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Jika kalian tidak menjumpai air, lakukanlah tayammum dengan menggunakan sha’id yang suci.” (QS. An-Nisa: 43).

Makna kata sha’id secara bahasa adalah permukaan bumi. Az-Zajjaj dalam tafsirnya mengatakan,

لا أعلم بين أهلِ اللغةِ اختلافاً في أن الصعيد وجهُ الَأرض

“Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat diantara ahli bahasa bahwa makna dari kata sha’id adalah permukaan bumi.” (Tafsir Ma’ani al-Quran, 2/56).

Dan bagian permukaan bumi selain air, tidak harus berbentuk debu atu tanah. Ada juga yang berbentuk bebatuan, kerikil, pasir, dst. Meskipun yang paling bagus untuk tayamum adalah tanah yang menghasilkan debu (thurab al-Harts). Ibnu Abbas pernah mengatakan,

أَطيَبُ الصَّعِيد تُرَاب الحَرْث

Sha’id yang paling bagus adalah tanah pertanian. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/280)

Sha’id yang tidak berupa tanah, seperti bebatuan, atau kerikil, apakah bisa digunakan untuk tayamum?

Ulama berbeda pendapat. Dan pendapat yang lebih kuat adalah, bisa digunakan untuk tayamum. Pendapat ini dinilai kuat oleh Syaikhul Islam (Majmu’ al-Fatawa, 21/364), dan as-Syaukani (Nailul Authar, 1/305).

Karena itulah, media yang bisa digunakan tayamum ada 2:

[1] Semua permukaan bumi selain zat cair, apapun bentuknya.
[2] Unsur bumi yang menempel di benda yang bukan unsur bumi. Misalnya debu yang menempel di kain atau di plastik. Debu bagian dari unsur bumi, sementara kain dan plastik bukan unsur bumi.

Ibnu Qudamah mengatakan,

وإن ضرب بيديه على لبد أو ثوب أو جوالق أو برذعة فعلق بيديه غبار فتيمم به جاز، نص أحمد على ذلك كله، وكلام أحمد يدل على اعتبار التراب حيث كان

Jika ada orang menepukkan tangannya di kain wol atau baju atau wadah dari kulit atau taplak, lalu ada debu yang menempel, dan dia gunakan untuk tayamum, hukumnya boleh. Demikian yang ditegaskan Imam Ahmad. Dan pernyataan Imam Ahmad, menunjukkan bahwa tayamum harus menggunakan unsur tanah, apapun alasannya.

Lalu beliau menegaskan,

فعلى هذا لو ضرب بيده على صخرة أو حائط أو حيوان أو أي شيء فصار على يديه غبار جاز له التيمم به، وإن لم يكن فيه غبار فلا يجوز

Oleh karena itu, jika ada orang yang menepukkan tangannya di batu atau dinding atau binatang atau benda apapun dan di tangannya ada debu yang menempel, maka boleh digunakan untuk tayamum. Dan jika tidak ada debu, tidak bisa untuk tayamum. (al-Mughni, 1/281).

Hukum Tayamum di Pesawat

Benda yang ada di ruang kabin pesawat bukan termasuk unsur bumi. Dinding pesawat, kursi, jendela, semua bukan unsur bumi. Karena itu, secara dzatnya, benda-benda ini tidak bisa digunakan untuk tayamum. Kecuali jika pada benda ini ada debu yang menempel.
Sehingga apakah sah tayamum dengan dinding kabin pesawat?

Jawabannya, apakah ada debu yang menempel di sana? Jika tidak ada, maka tidak bisa digunakan untuk tayamum.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum tayamum di pesawat.
Jawaban beliau,

إذا كان يمكن أن يتيمم على فراش الطائرة تيمم، وإذا لم يمكن بأن كان خالياً من الغبار فإنه يصلي ولو على غير طهر، فإذا قدر هذا الطهر تطهر

Jika mungkin untuk tayamum di jok pesawat, silahkan tayamum. Jika tidak mungkin, misalnya, tidak ada debu, maka penumpang boleh shalat meskipun tidak bersuci sama sekali. Jika dia mampu bersuci, silahkan bersuci. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/413).

Keterangan yang lain disebutkan dalam Fatwa Syabakah Islamiyah,

فإذا كانت المقاعد ليس عليها غبار ولم تجدوا صعيدا آخر وخشيتم فوات الصلاة جازت لكم الصلاة بدون طهارة نظرا للضرورة

Jika di jok tidak ada debu, sementara anda tidak menemukan sha’id (unsur bumi) yang lain, dan anda khawatir bisa ketinggalan shalat, maka boleh shalat tanpa bersuci, dengan pertimbangan darurat. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 35636).

Orang yang tidak bisa wudhu dan tayamum karena udzur syar’i, contohnya orang yang lumpuh kaki tangannya, sementara tidak ada yang bisa mewudhukan atau mentayamumkan, dia boleh shalat tanpa bersuci, jika dikhawatirkan bisa habis waktu shalat apabila ditunggu.

Termasuk mereka yang berada di dalam pesawat. Jika tidak memungkinkan untuk berwudhu, dan juga tayamum, sementara jika menunggu mendarat akan keluar waktu shalat, maka boleh shalat tanpa wudhu dan tayamum.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/30872-tidak-sah-tayamum-di-pesawat.html

Thursday, 21 December 2017

CARA BERBAKTI KEPADA ORANG TUA YANG SUDAH MENINGGAL

Cara Berbakti kepada Orang Tua setelah mereka Meninggal

Berbakti kepada Orang Tua Sesudah Mereka Meninggal

Assalamualaikum ustadz, Ana mau tanya :

Amalan – amalan apa yang bermanfaat untuk mayit?Bagaimana caranya berbakti kepada orang tua yang sudah mati (meninggal) ?Sampaikah pahala membacakan alquran untuk orang tua kita yang sudah meninggal

Jazakallohu khairan

Dari: Muhamad Ariyanto

Jawaban:

Wa alaikumus salam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Salah satu diantara rahmat yang Allah berikan kepada orang yang beriman adalah mereka bisa saling memberikan kebaikan, sekalipun harus berpisah di kehidupan dunia. Karena ikatan iman, Allah abadikan sekalipun mereka sudah meninggal.

Doa mukmin yang hidup kepada mukmin yang telah meninggal, Allah jadikan sebagai doa yang mustajab. Doa anak soleh kepada orang tuanya yang beriman, yang telah meninggal, Allah jadikan sebagai paket pahala yang tetap mengalir.

Ilmu yang diajarkan oleh seorang guru muslim kepada masyarakat, akan menjadi paket pahala yang terus mengalir, selama ilmu ini diamalkan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seseorang mati, seluruh amalnya akan terputus kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim 1631, Nasai 3651, dan yang lainnya).

Bahkan ikatan iman ini tetap Allah abadikan hingga hari kiamat. Karena ikatan iman ini, Allah kumpulkan kembali mereka bersama keluarganya di hari kiamat.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

“Orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.”(QS. At-Thur: 21).

Anda yang beriman, orang tua beriman, anak cucu beriman, berbahagialah, karena insyaaAllah akan Allah kumpulkan kembali di surga.

Penjelasan tafsir ayat selengkapnya, bisa anda pelajari di: Bertemu Orang Tua di Surga

Banyak Cara untuk Berbakti kepada Orang Tua

Setelah orang tua meninggal, ada banyak cara bagi si anak untuk tetap bisa berbakti kepada orang tuanya. Mereka tetap bisa memberikan kebaikan bagi orang tuanya yang telah meninggal, berupa aliran pahala. Dengan syarat, selama mereka memiliki ikatan iman.

Lebih dari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada salah seorang sahabat untuk melakukan beberapa amal, agar mereka tetap bisa berbakti kepada orang tuanya.

Dari Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah. Orang ini bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara bagiku untuk berbakti kepada orang tuaku setelah mereka meninggal?’ Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَعَمْ، الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا، وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِيفَاءٌ بِعُهُودِهِمَا مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا

“Ya, menshalatkan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, memenuhi janji mereka setelah mereka meninggal, memuliakan rekan mereka, dan menyambung silaturahmi yang terjalin karena sebab keberadaan mereka.” (HR. Ahmad 16059, Abu Daud 5142, Ibn Majah 3664, dishahihkan oleh al-Hakim 7260 dan disetujui adz-Dzahabi).

Makna ‘menshalatkan mereka’ memiliki dua kemungkinan,

Menshalatkan jenazah mereka

Mendoakan mereka dengan doa rahmat.

Demikian keterangan as-Sindi yang dikutip Syuaib al-Arnauth dalam Tahqiq beliau untuk Musnad Imam Ahmad (25/458).

Diantara doa yang Allah perintahkan dalam Al-Quran adalah doa memohonkan ampunan untuk kedua orang tua kita,

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Berdoalah, Ya Allah, berilah rahmat kepada mereka (kedua orang tua), sebagaimana mereka merawatku ketika kecil.” (QS. Al-Isra: 24)

Pentingnya Menjaga Silaturahmi Sepeninggal Orang Tua

Diantara fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat, ada beberapa anak yang memiliki hubungan dekat dengan kerabat atau teman dekat orang tuanya. Namun ketika orang tuanya meninggal, kedekatan ini menjadi pudar, bahkan terkadang terjadi permusuhan.

Karena itu, salah satu bentuk berbakti kepada orang tua yang tingkatannya sangat tinggi adalah menjaga hubungan silaturahmi dengan semua keluarga yang masih kerabat dengan orang tua kita dan orang-orang yang menjadi teman dekat orang tua.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ

“Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi, menyambung hubungan dengan orang yang dicintai bapaknya, setelah ayahnya meninggal.” (HR. Muslim no. 2552)

Kedudukan Bibi = Ibu

Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ

“Bibi saudara ibu, kedudukannya seperti ibu.” (HR. Bukhari 2699, Abu Daud 2280, dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْخَالَةَ وَالِدَةٌ

“Bibi saudara ibu, itu seperti ibu.” (HR. Ahmad 770 dan sanadnya dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth).

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa ketika ibu meninggal, kedekatan kerabat yang penting untuk kita jaga adalah kedekatan kepada bibi. Karena itu, Imam an-Nawai dalam kitabnya Riyadhus Sholihin memasukkan hadis ini di bab: Berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahim.

Bagi anda yang ingin maksimal berbakti kepada ibu yang telah meninggal, anda bisa baktikan diri anda kepada bibi saudara ibu.

Mengenai amal apa saja yang bisa dihadiahkan kepada orang tua yang telah meninggal, bisa anda pelajari: Menghadiahkan Pahala untuk Mayit

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/20268-cara-berbakti-kepada-orang-tua-setelah-mereka-meninggal.html

DOA MEMINTA SURGA DAN PERLINDUNGAN DARI NERAKA

Keutamaan Doa Meminta Surga dan Perlindungan dari Neraka

Doa Meminta Surga dan Perlindungan dari Neraka

Bismillah….
Bagaimana status zikir “Allahumma Ajirna Minannar”,soalnya saya tidak mendapatinya di dalam buku zikir pagi dan petang…
Syukron..

Dari: Fattah

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Dinyatakan dalam sebuah hadis,

إذا صليتَ الصبح فقل قبل أن تكلم أحداً من الناس ” اللهم أجرني من النار سبع مرات ” فإنك إن متَّ مِن يومك ذلك كتب الله لك جواراً مِن النار ، وإذا صليت المغرب فقل قبل أن تكلم أحداً من الناس اللهم أجرني من النار” سبع مرات فإنك إن متَّ مِن ليلتك كتب الله عز وجل لك جواراً مِن النَّار

”Apabila kamu selesai shalat subuh, becalah doa berikut sebelum kamu berbicara dengan orang lain: ’Allahumma aajirnii minan naar’ 7 kali. Jika pada hari itu kamu mati maka Allah akan menetapkan bahwa kamu jauh dari neraka. Jika kamu selesai shalat maghrib, ucapkanlah doa ini sebelum kamu berbicara dengan orang lain: ’Allahumma aajirnii minan naar’ 7 kali. Jika malam itu kamu mati, maka Allah tetapkan bahwa kamu jauh dari neraka.”

Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya no. 18054, Abu Daud no. 5079, dan Ibn Hibban 5/367, dari jalur al-Harits bin Muslim, dari bapaknya Muslim bin harits at-Tamimi secara marfu’.

Syaikh Syuaib al-Arnauth mengatakan,

إسناده ضعيف، مسلم بن الحارث جهله الدارقطني، ولم يؤثر توثيقه عن غير ابن حبان. وقد اختلف في اسمه واسم أبيه

Sanad hadis ini dhaif, Muslim bin Harits dinilai majhul (perawi tak dikenal) oleh ad-Daruquthni, sementara penilaian dia sebagai tsiqah (perawi terpercaya) tidak dianggap dari selain Ibnu hibban. Ulama berbeda pendapat tentang namanya dan nama bapaknya. (Ta’liq Musnad Ahmad, 29/593).

Hadis ini juga dinilai lemah dalam kitab as-Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (kumpulan hadis dhaif), no. 1624.

Keutamaan Meminta Surga

Setelah membaca kesimpulan di atas, kita tidak perlu resah, karena ada hadis shahih yang semakna dan bisa kita amalkan.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ الْجَنَّةُ: اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ اسْتَجَارَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ

”Siapa yang meminta surga 3 kali, maka surga akan berkata: ’Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga.’ Dan siapa yang memohon perlindungan dari neraka 3 kali, maka neraka akan berkata: ’Ya Allah, lindungilah dia dari neraka.” (HR. Ahmad 12585, Nasai 5521, Turmudzi 2572 dan yang lainnya. Hadis ini dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth dan dinilai shahih oleh al-Albani).

Jika kita perhatikan, hadis di atas bersifat umum, artinya,

Tidak ada teks doa khusus, sehingga anda bisa meminta surga dengan kalimat permohonan surga apapun. Bisa juga dengan bahasa yang kita pahami: Ya Allah, aku memohon surga, atau Ya Allah, lindungilah aku dari neraka.Tidak ada batasan waktu dan tempat, sehingga kita bisa membacanya kapanpun dan dimanapun.Disebutkan batasan angka, yaitu 3 kali. Artinya untuk mendapatkan keutamaan itu, kita baca minimal sebanyak 3 kali, dan maksimal tanpa hitungan.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/21070-keutamaan-doa-meminta-surga-dan-perlindungan-dari-neraka.html

Saturday, 2 December 2017

HUKUM MENERIMA MAKANAN DARI ACARA BID'AH

HUKUM MEMAKAN MAKANAN DARI ACARA BID’AH

Oleh

Ustadz Anas Burhanuddin MA

Pertanyaan.

Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh. Ustadz, apa hukumnya memakan makanan dari acara yang tidak diridhai Allâh? Acara ulang tahun misalnya. Jazakallahkhair.

Jawaban.

Wa’alaikumussalâm warahmatullâhi wabarakâtuh. Semoga Allâh Azza wa Jalla menghindarkan anda dari perkara haram dan dosa.

Pada masa lalu, perayaan ulang tahun tidak dikenal di kalangan umat Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak pernah mencontohkannya. Jika perbuatan itu baik, mereka tentu sudah mendahului kita, karena mereka sangat bersemangat dalam melakukan semua kebaikan. Tradisi ini diimpor dari orang-orang barat yang kafir, sehingga jelas bahwa melakukan perayaan seperti ini merupakan bentuk tasyabbuh bil kuffâr (menyerupai orang-orang kafir) yang dilarang dalam agama Islam.[1]

Jika demikian, maka kita tidak boleh mendukung acara seperti ini, baik dengan menghadirinya, mendanainya atau lain sebagainya, karena itu termasuk kerjasama dalam hal maksiat. Terkait dengan memakan makanan yang dibuat untuk acara itu, jika yang dimaksud dengan memakan makanan saat menghadiri acara ulang tahun atau sejenisnya, maka itu tak lepas dari unsur mendukung maksiat. Menghadiri acara dan ikut makan berarti ikut mendukung dan meramaikannya, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan takwa, jangan bahu membahu dalam dosa dan maksiat. Bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras siksa-Nya [Al-Mâ`idah/5:2]

Adapun jika makanan itu di antar ke rumah tanpa kita datang ke tempat acara, sebagaimana dilakukan sebagian orang yang menyelenggarakan pesta atau upacara bid’ah, juga orang-orang kafir saat berhari raya, maka kita boleh menerimanya dan memakannya. Demikian dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[2] Hal itu karena pada hakekatnya, makanan itu halal dan menerima hadiah dari mereka tidak berarti mendukung acara mereka.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu menerima hadiah dari orang yang merayakan hari raya Nayruz.[3] Aisyah Radhiyallahu anhuma juga ditanya tentang hukum menerima hadiah dari orang Mâjusi saat mereka berhari raya, maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْمِ فَلَا تَأْكُلُوا، وَلَكِنْ كُلُوا مِنْ أَشْجَارِهِمْ

Adapun yang disembelih untuk acara itu, jangan kalian makan. Makanlah makanan selain sembelihan (sayur, buah dan semacamnya) [HR. Ibnu Abi Syaibah no. 24.371][4]

Setelah menukil atsar ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Semua atsar ini menunjukkan bahwa ‘ied (hari raya) tidak berpengaruh pada bolehnya menerima hadiah dari mereka. Jadi tidak ada bedanya antara menerima hadiah dari mereka, saat ‘ied maupun di luar ‘ied, karena hal itu tidak mengandung unsur mendukung syi’ar kekafiran mereka.”

Sebagian Ulama lagi berpendapat tidak boleh menerima hadiah atau makan hadiah ulang tahun sama sekali. Bagi mereka, hal tersebut tidak lepas dari unsur mendukung acara mereka.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote

[1]Lihat: Fatâwâ Lajnah Dâ`imah II 2/260, Majmû’ Fatâwâ Bin Bâz 4/285

[2]Iqtidhâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm 2/52

[3]Nayruz adalah peringatan awal tahun kalender Mesir, biasa diperingati oleh umat Kristen Koptik dan yang lain

[4]Mushannaf Ibni Abi Syaibah 5/126.

Sumber: https://almanhaj.or.id/4534-hukum-memakan-makanan-dari-acara-bidah.html

Thursday, 30 November 2017

MANDI WAJIB KETIKA SAKIT

Mandi Wajib Ketika Sakit

Tayamum Atau Mandi Wajib Ketika Sakit?

Assalamu alaikum ustadz.
apabila seseorang tdk bisa mandi wajib krn sakit, tapi dia bisa berwudhu, apakah dia berwudhu atau bertayammum? Syukran.

Dari Muhammad Salim via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Wa alaikumus salam wa rahmatullah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka wudhulah: basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan usaplah kepalamu dan basuh kakimu sampai kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan wanita, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci; usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.. (QS. Al-Maidah: 6).

Ayat dia atas menjelaskan tata cara bersuci dalam islam. Allah sebutkan, bahwa cara bersuci ada 2:

a. Wudhu bagi orang yang mengalami hadats kecil

b. Mandi besar bagi orang yang mengalami hadats besar

Kemudian Allah sebutkan dua keadaan yang menyebabkan seseorang tidak memungkinkan menggunakan air,

a. Karena sakit

b. Karena tidak menjumpai air ketika safar

Ketika mengalami kondisi semacam ini, Allah perintahkan untuk mengganti kewajiban wudhu dan mandi besar dengan tayamum,

”jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan wanita, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah..”

Karena itu, yang benar, mandi junub tidak diganti dengan wudhu, namun diganti dengan tayamum. Anggapan orang bahwa jika tidak mampu mandi junub diganti dengan wudhu adalah anggapan yang menyalahi ayat di atas.

Kemudian, seusai tayamum, dia bisa langsung shalat dan tidak diperintahkan untuk tayamum kedua. Kecuali jika dia batal, maka dia ulangi tayamum untuk menghilangkan hadats kecilnya.

Disamping ayat di atas, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal ini. Diantaranya,

Pertama, keterangan Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah hadis panjang,

Dalam sebuah safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat subuh. Seusai shalat, beliau melihat ada satu sahabat yang menyendiri dan tidak ikut jamaah. Beliaupun menghampirinya.

“Mengapa kamu tidak ikut shalat jamaah bersama kami?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

”Saya sedang junub, sementara tidak ada air.” Jawab sahabat.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ، فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ

”Kamu gunakan tanah untuk tayamum. Itu cukup bagimu.” (HR. Bukhari 344, Nasai 321 dan yang lainnya).

Kedua, hadis Ammar bin Yasir

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk satu keperluan penting. Kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menjumpai air. Akhirnya aku bergulung-gulung di tanah seperti binatang.

Sesampainya di Madinah, aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyarankan tayamum,

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ، ثُمَّ نَفَضَهَا، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini: beliau menepukkan kedua telapak tangannya di tanah, kemudian beliau meniupnya dan mengusapkannya ke kedua telapak tangannnya, kemudian mengusapkan ke wajahnya. (HR. Bukhari 347 dan Muslim 368)

Catatan:

Orang junub yang tidak bisa mandi karena tidak memiliki air, dia wajib mandi setelah menemukan air.

Dalam hadis Imran bin Husain di atas, setelah rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak air, beliau memberikan seember air kepada sahabat yang junub agar digunakan untuk mandi. Sahabat menceritakan,

وَكَانَ آخِرُ ذَاكَ أَنْ أَعْطَى الَّذِي أَصَابَتْهُ الجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ، قَالَ: «اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ»

Hingga akhirnya, beliau berikan seember air kepada orang yang tadi mengalami junub, dan bersabda ”Ambil ini dan gunakan untuk mandi.”(Bukhari 344).

Kita tahu, orang ini sudah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tayamum ketika hendak shalat subuh.

Imam Ibnu Utsaimin ketika menjelaskan hadis ini, mengatakan,

وهذا دليل على أن التيمم مطهر وكافٍ عن الماء لكن إذا وجد الماء فإنه يجب استعماله، ولهذا أمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يفرغه على نفسه بدون أن يحدث له جنابة جديدة، وهذا القول هو الراجح من أقوال أهل العلم.

Hadis ini dalil bahwa tayamum bisa menggantikan air. Akan tetapi, jika dia menemukan air, dia wajib menggunakannya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang ini untuk mandi, padahal dia tidak mengalami junub yang kedua. Inilah pendapat yang kuat diantara pendapat ulama. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin, Jilid 11, Bab Tayamum).

Demikian,

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/22858-mandi-wajib-ketika-sakit.html

PENGGANTI MANDI JUNUB BAGI ORANG SAKIT

Pengganti Mandi Junub Bagi Orang Yang Sakit

TANYA: Apabila suami istri pada malam hari berhubungan, otomatis keduanya harus mandi junub. Bagaima tata cara mandi junub apabila salah satu dari suami/istri punya penyakit asma, sedangkan pada saat subuh udara terasa dingin dan di khawatirkan punya asma bisa kambuh…

Apakah salah satu dari suami/istri mandi saat hendak sholat subuh pada waktunya ataukah ada keringanan bagi yang punya sakit asma.

Keringanan yang dimaksud adalah yang punya sakit asma membersihkan kemudian wudhu kemudian sholat dan mandi junubnya pada saat udara tidak dingin lagi. Ataukah yang punya sakit asma wajib mandi sebelum sholat subuh.
Jazakallah khair atas jawabannya. (Pertanyaan dari Makassar).

JAWABAN:

Ketika seseorang junub dan dia tidak bisa menggunakan air dingin karena sakit yang dideritanya, bila dia tetap memaksakan mandi maka akibatnya akan menambah derita sakitnya, kalau keadaannya seperti itu maka jangan dia mandi sehingga dia tidak termasuk dari orang-orang yang disebutkan di dalam Al-Qur’an:

( ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘْﺘُﻠُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﺑِﻜُﻢْ ﺭَﺣِﻴﻤًﺎ )

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Alloh bagi kalian adalah Ar-Rohim (Maha Penyayang)”.

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh berdalil dengan ayat tersebut bahwa menjaga kesehatan adalah perkara yang dituntut, beliau berkata:

ﻭﺍﻟﻤﺤﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺤﺔ ﺃﻣﺮ ﻣﻄﻠﻮﺏ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﺃﺑﺎﺡ ﻟﻠﻤﺴﺎﻓﺮ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﺃﺑﺎﺡ ﻟﻠﺤﺎﺝ ﺣﻠﻖ ﺷﻌﺮ ﺭﺃﺳﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺑﻪ ﺃﺫﻯ، ﻭﺃﺑﺎﺡ ﺃﻳﻀًﺎ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﺷﺘﺪﺍﺩ ﺍﻟﺒﺮﺩ

“Dan penjagaan terhadap kesehatan adalah perkara penting, karena Alloh benar-benar telah membolehkan bagi orang yang safar untuk berbuka puasa pada bulan Romadhon, dan Dia membolehkan orang yang haji untuk mencukur rambut kepalanya, jika ada padanya gangguan, dan Dia juga membolehkan tayammum ketika sangat dingin”.

Setelah beliau membawakan dalil berupaya ayat seperti yang kami sebutkan tersebut, beliau berkata:

ﻛﻞ ﺫﻟﻚ ﺣﻔﺎﻇًﺎ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺔ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ .

“Semua demikian itu adalah penjagaan terhadap kesehatan bagi manusia”.

Ketika seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak sanggup mandi karena akan menambah sakitnya maka baginya bertayammum, dan jangan dia berwudhu karena wudhu tidak teranggap sebagai pengganti mandi junub, namun yang menempati kedudukan mandi junub atau penggantinya adalah bertayammum, dengan dalil hadits Abu Musa Al-Asy’ariy bahwa Ammar Rodhiyallohu ‘Anhuma mengatakan:

ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺣﺎﺟﺔ ﻓﺄﺟﻨﺒﺖ، ﻓﻠﻢ ﺃﺟﺪ ﺍﻟﻤﺎﺀ، ﻓﺘﻤﺮﻏﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻌﻴﺪ ﻛﻤﺎ ﺗﻤﺰﻍ ﺍﻟﺪﺍﺑﺔ

“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutusku pada suatu keperluan, lalu aku junub, dan aku tidak mendapatkan air, maka akupun bergulung-gulung di debu sebagaimana bergulung-gulungnya binatang melata”.

Beliau Rodhiyallohu ‘Anhu di sini berijtihad dengan ijtihad seperti itu, ketika beliau mengabarkan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam akan perbuatan beliau maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membimbinganya sambil berkata:

ﺇﻧﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﻔﻴﻚ ﺃﻥ ﺗﻘﻮﻝ ﺑﻴﺪﻙ ﻫﻜﺬﺍ

“Hanya saja cukup bagimu untuk kamu lakukan dengan tanganmu begini” . Yaitu:

ﺿﺮﺏ ﺑﻴﺪﻩ ﺍﻷﺭﺽ ﺿﺮﺑﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ، ﺛﻢ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﺸﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﻤﻴﻦ، ﻭﻇﺎﻫﺮ ﻛﻔﻴﻪ، ﻭﻭﺟﻪ

“Beliau melekatkan dengan tangannya ke tanah dengan sekali peletakan kemudian beliau mengusap yang kiri atas yang kanan, dan punggung telapak tanggannya lalu mengusap wajahnya”.
Dengan keterangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa dianjurkan bertayammum pada tiga keadaan:

Keadaan pertama:
Kalau yang junub tidak sanggup menggunakan air, karena sakit yang ada padanya, bila dia memaksakan menggunakan air maka akan memudhorotkannya dan menambah parah pada sakitnya maka baginya bertayammum.

Keadaan kedua:
Yang junub memiliki keterbatasan air yang sangat, dalam artian kalau dia gunakan air tersebut untuk mandi junub maka dia tidak akan bisa lagi minum, dengan sebab itu akan memudhorotkannya maka baginya bertayammum, Alloh Ta’ala berkata:

( ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻫَﺎ )

“Tidaklah Alloh akan membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan apa yang Dia telah berikan kepadanya”.

Keadaan ketiga:
Dia sedang safar, ketika dia tidak mendapatkan air maka baginya bertayammum, Alloh Ta’ala berkata:

( ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰٰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰٰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ ﺻَﻌِﻴﺪًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻓَﺎﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﻮُﺟُﻮﻫِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﻣِﻨْﻪُ ۚ ﻣَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻴَﺠْﻌَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺣَﺮَﺝٍ ﻭَﻟَٰﻜِﻦْ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﻟِﻴُﻄَﻬِّﺮَﻛُﻢْ ﻭَﻟِﻴُﺘِﻢَّ ﻧِﻌْﻤَﺘَﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺸْﻜُﺮُﻭﻥَ )

“Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kalian menjima’i wanita-wanita, lalu kalian tidak mendapati air maka bertayammumlah kalian dengan debu yang baik, usaplah oleh kalian wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengannya, tidaklah Alloh menginginkan untuk menyusahkan kalian, akan tetapi dia menginginkan untuk mensucikan kalian, dan supaya Dia menyempurnakan ni’mat-Nya kepada kalian, supaya kalian bersyukur”.

Ayat ini termasuk dari dalil tentang tiga keadaan tersebut, Wallohu A’lam.

Semoga Alloh menyembuhkan kami dan menyembuhkan penanya dan keluarga penanya serta melindungi kita semua dari fitnah dan kejelekan.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afahulloh (28/5/1436).

Tuesday, 28 November 2017

DOA KETIKA HUJAN SANGAT DERAS

Doa Ketika Hujan Deras

Ada doa yang bisa diamalkan ketika hujan deras. Dan perlu dipahami bisa saja hujan deras atau lebat tersebut adalah musibah dengan banjir besar atau banjir bandang. Akhirnya, itu jadi teguran dari Allah.

Cerita Turunnya Hujan Lebat di Masa Nabi

Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari Jum’at melalui arah Darul Qodho’. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.”

Anas mengatakan, “Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul Qodho’ dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a,

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan”

Setelah itu, hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengatakan bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak tahu.” (HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897)

Doa Ketika Hujan Deras

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik di atas, ketika hujan tidak kunjung berhenti, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” (HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897)

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a di atas.” (Zaadul Ma’ad, 1: 439)

Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak bahaya. (Lihat Dzikru wa Tadzkir, hal. 28)

Berarti dapat kita ambil pelajaran bahwa doa di atas dibaca saat hujan itu deras dan membawa dampak bahaya seperti banjir besar atau banjir bandang. Ini bisa terjadi curah hujan itu kecil namun berlangsung dalam waktu yang cukup lama, 3 atau 4 jam di daerah yang rawan banjir. Wallahu a’lam.

Renungan: Barangkali Musibah Datang

Yang patut direnungkan bisa jadi hujan deras atau lebat yang turun ini adalah teguran dari Allah. Barangkali itu adalah musibah. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menceritakan,

وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ فِى وَجْهِهِ . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا ، رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ ، وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَ فِى وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ . فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَا يُؤْمِنِّى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ ، وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا ( هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا ) »

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mendung atau angin, maka raut wajahnya pun berbeda.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasululah, jika orang-orang melihat mendung, mereka akan begitu girang. Mereka mengharap-harap agar hujan segera turun. Namun berbeda halnya dengan engkau. Jika melihat mendung, terlihat wajahmu menunjukkan tanda tidak suka.” Beliau pun bersabda, “Wahai ‘Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman? Siapa tahu ini adaah azab. Dan pernah suatu kaum diberi azab dengan datangnya angin (setelah itu). Kaum tersebut (yaitu kaum ‘Aad) ketika melihat azab, mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (HR. Bukhari no. 4829 dan Muslim no. 899)

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah siksaan yang menimpa kaum ‘Aad sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al Ahqaf: 24-25)

Jika itu Musibah …

Jika itu musibah, maka patut direnungkan bahwa musibah itu datang bisa jadi karena dosa dan maksiat yang kita lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Lihat Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Idem)

Semoga Allah menurunkan pada kita hujan yang membawa manfaat, bukan hujan yang membawa musibah. Semoga kita dimudahkan untuk kembali taat pada Allah dan diangkat dari berbagai macam musibah. Ampunilah segala dosa dan kesalahan kami, Ya Allah.



Sumber : https://rumaysho.com/9690-doa-ketika-hujan-deras.html

TATA CARA MANDI JUNUB DAN MANDI HAID

Tata Cara Mandi Haid dan Mandi Junub

Setelah selesai haidh kita harus bersuci dengan cara yang lebih dikenal dengan sebutan mandi haid

Haid adalah salah satu najis yang menghalangi wanita untuk melaksanakan ibadah sholat dan puasa (pembahasan mengenai hukum-hukum seputar haidh telah disebutkan dalam beberapa edisi yang lalu), maka setelah selesai haidh kita harus bersuci dengan cara yang lebih dikenal dengan sebutan mandi haid.

Agar ibadah kita diterima Allah maka dalam melaksanakan salah satu ajaran islam ini, kita harus melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Rasulullah telah menyebutkan tata cara mandi haid dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Asma’ binti Syakal Radhiyallahu ‘Anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtentang mandi haidh, maka beliau bersabda:

تَأْخُذُإِحْدَا كُنَّ مَائَهَا وَسِدْرَهَا فَتََطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أوْ تَبْلِغُ فِي الطُّهُورِ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُُهُ دَلْكًا شَدِ يْدًا حَتََّى تَبْلِغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطْهُرُ بِهَا قَالَتْ أسْمَاءُ كَيْفَ أتََطَهَّرُبِهَا قَالَ سُبْحَانَ الله ِتَطَهُّرِي بِهَا قَالَتْْ عَائِشَةُ كَأنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِي بِهَا أثَرَالدَّمِ

“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:

تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي بِهَاأَثَرَا لدَّمِ

“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): “Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-‘Adawy berkata: “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.”(Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).

Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ringkasnya sebagai berikut:

Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).Menyiramkan air ke badannya.Mengambil secarik kain atau kapas(atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji) dengannya.

TATA CARA MANDI JUNUB BAGI WANITA

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata:

كُنَّاإِذَأَصَابَتْ إِحْدَانَاجَنَابَةٌأَخَذَتْ بِيَدَيْهَاثَلَاثًافَوْقَ رَأْسَهَا ثُمَََّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَاالْأيَْمَنِ وَبِيَدِهَااْلأُخْرَى عََََلَى شِقِّهَااْلأ يْسَرِ

“Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

قُاْتُ ياَرَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ عَلَى سَائِرِ جَسَادِكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْن

Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)

Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:

Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.

Tata cara mandi yang disebutkan itu tidaklah wajib, akan tetapi disukai karena diambil dari sejumlah hadits-hadits Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apabila dia mengurangi tata cara mandi sebagaimana yang disebutkan, dengan syarat air mengenai (menyirami) seluruh badannya, maka hal itu telah mencukupinya. Wallahu A’lam bish-shawab.

***

Diringkas dari majalah As Sunah Edisi 04/Th.IV/1420-2000, oleh Ummu ‘Athiyah
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id