Monday, 10 September 2018

DOA AKHIR TAHUN / DOA AWAL TAHUN

Doa Awal dan Akhir Tahun, Adakah Tuntunan?

Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata,

“Syariat Islam tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau dzikir untuk awal tahun.

Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi baru dalam hal amalan berupa doa, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali.”
(Tashih Ad Du’a’, hal.107)

Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiriy berkata,

“Sebagian orang membuat inovasi baru dalam ibadah dengan membuat-membuat doa awal tahun dan akhir tahun. Sehingga dari sini orang-orang awam ikut-ikutan mengikuti ritual tersebut di berbagai masjid, bahkan terdapat para imam pun mengikutinya.

Padahal, doa awal dan akhir tahun tersebut tidak ada pendukung dalil sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dari para sahabatnya, begitu pula dari para tabi’in.

Tidak ada satu hadits pun yang mendukungnya dalam berbagai kitab musnad atau kitab hadits.”

(Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 399).

Dilanjutkan pula oleh Syaikh At Tuwaijiriy di halaman yang sama,

“Kita tahu bahwa doa adalah ibadah. Pengkhususan suatu ibadah itu harus tawqifiyah (harus dengan dalil).

Doa awal dan akhir tahun sendiri tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula pernah dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Idem)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/9209-doa-awal-dan-akhir-tahun-hijriyah-adakah-tuntunan.html

Falah Amnan Al Islam

Wednesday, 29 August 2018

LAFADZ ISTIGHFAR ADA PDF NYA

LAFADZ ISTIGHFAR

BEBERAPA LAFADZ ISTIGHFAR YANG SHAHIH

Di bawah ini beberapa lafadz istigfar yang berasal dari Al-Qur’an dan sunnah Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

1. Lafazh istighfar terpendek

أَسْتَغْفِرُ الله

“Astaghfirullah”.
Artinya : “Aku memohon ampun kepada Allah”. (Riwayat Muslim ).

Biasa dibaca sebanyak 3 x oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas shalat.

2. Dalam hadits At Timridzi, Abu Dawud, dan Al Hakim bahwa, barangsiapa membaca istighfar dibawah ini, maka akan diampunkan dosanya, meskipun ia telah lari dari medan jihad yang sedang berkecamuk (dimana dosanya sangat besar sekali) :

أَسْتَغْفِرُ الله الَّذِي لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

“Astaghfirullahal-ladzi la ilaha illa Huwal-Hayyul-Qayyum, wa atubu ilaih”
Artinya : “Aku memohon ampun kepada Allah, Yang tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengurus, dan aku bertobat kepada-Nya”.

Dan atau

Dengan mengucap 
“Astagfirullahal adzim alladzi la ilaaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih”

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْه

Berdasarkan riwayat Imam at-Tirmidzi:

مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ

“Barangsiapa yang mengucap
“Astagfirullahal adziim alladzi laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum wa atuubu ilaih” 
Artinya : (Aku meminta ampun kepada Allah yang maha agung yang tiada ilah yang berhak disembah kecuali Dia yang maha hidup dan maha mengatur dan aku bertaubat kepada-Nya), 
maka Allah akan mengampuni (dosanya) walaupun dia lari dari medan perang.”
(HR At-Tirmidzi dishahihkan oleh al-Albani).

3. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim lafazh istighfar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak dibaca di akhir masa hidup Nabi.

سُبْحَانَ اللهُ وَبِحَمْدِهِ، 
أَسْتَغْفِرُالله وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

“Subhanallah wa bihamdih. Astaghfirullah, wa atubu ilaih”
Artinya : “Maha Suci Allah, dan dengan memuji-Nya. 
Aku memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya”.

Atau dengan lafazh dan redaksi Muslim berikut ini :

سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Subhanaka, Allahumma wa bihamdika, astaghfiruka wa atubu ilaik”
Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu, aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu”.

4. Lafazh doa istighfar dalam riwayat Al Bukhari yang biasa dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. dalam ruku’ dan sujud, khususnya di akhir hidup beliau, dalam rangka mengamalkan perintah Allah dalam surah An-Nashr :

سُبْحَانَكَ اللهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Subhanaka, Allahumma Rabbana, wa bihamdika, astaghfiruka wa atubu ilaik”
Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu”.

5. Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dalam riwayat Abu Daud, At Tirmidzi, dan Ahmad, sempat menghitung lafazh istighfar berikut ini dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dalam satu majlis, sebanyak 100 x :

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Rabbighfirli, wa tub ‘alayya, innaka Anta At-Tawwabur-Rahim”

Artinya : “Wahai Tuhan-ku, ampunilah daku, dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau-lah Dzat Maha Penerima tobat, dan Maha Penyayang”.

6. Doa istighfar kaffaratul majlis (penutup dan penghapus dosa majlis) dalam riwayat Abu Dawud, An Nasa’i, Ath Thabrani, dan Al Hakim :

سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Subhanaka, Allahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa Anta, astaghfiruka, wa atubu ilaik”.

Aprtinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu”.

7. Lafazh doa istighfar dalam Shahih Al Bukhari yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. kepada sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk dibaca di dalam shalat khususnya sebelum salam :

اللهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ، إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Allahumma inni dzalamtu nafsi dzulman katsira, wala yaghfirudz-dzunuba illa Anta, faghfirli maghfiratan min ‘indika, warhamni, innaka Antal-Ghafurur-Rahim”

Artinya : “Ya Allah sungguh aku telah mendzalimi diriku dengan kedzaliman yang banyak. Dan tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain hanya Engkau. Maka ampunkanlah daku dengan sebuah pengampnan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau-lah Dzat Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

8. Sayyidul istighfar (Induk istighfar)

اللهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ، لآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِيْ، فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Allahumma Anta Raabbi, la ilaha illa Anta, khalaqtani wa ana ‘abduka, wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu. A’udzu bika min syarri ma shana’tu. Abu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abu-u laka bidzambi. Faghfirli fa innahu la yaghfirudz-dzunuba illa Anta”

Artinya : “Ya Allah Engkau-lah Tuhan-ku. Tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau Yang telah Menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan menjaga janji-Mu seoptimal yang aku mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan segala yang aku perbuat. Aku kembali kepada-Mu dengan (mengakui) segala nikmat-Mu kepadaku. Dan akupun kembali kepada-Mu dengan (mengakui) semua dosaku. Maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain hanya Engkau”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengucapkannya pada siang hari dan meyakininya, lalu dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu dia mati sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni surga”.
(HR. Bukhari no. 6306).

9. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika menjelang kematiannya) sedang bersandar padanya. Lalu beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى وَأَلْحِقْنِى بِالرَّفِيقِ الأَعْلَى

“Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang sholih.”
(HR. Bukhari no. 5674. Lihat Al Muntaqho Syar Al Muwatho’)

Sumber : https://rumaysho.com/56-nabi-kita-tidak-pernah-bosan-beristigfar.html

https://kumpulssite.wordpress.com/category/i-ensiklopedia-islam/❁-istighfar/4-beberapa-lafadz-istighfar-yang-sohih/

http://abuzaidaz.blogspot.co.id/2014/07/lafadz-lafadz-istigfar.html?m=1

Link pdf : https://drive.google.com/folderview?id=1GdEFKbRAq35xP9YTXmHa5V8gBZ5kVwUr

Sunday, 26 August 2018

BAHASA ARAB

https://islamika.net/126661-download-durusul-lughah-al-arabiyyah-buku-panduan-belajar-bahasa-arab.html

Monday, 13 August 2018

Mau qurban agak bingung, mana yang lebih utama ikut urunan sapi atau qurban sendiri?

Mau qurban agak bingung, mana yang lebih utama ikut urunan sapi atau qurban sendiri? sukron

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Urutan qurban yang paling sempurna adalah onta, kemudian sapi, kemudian kambing. Ini jika biaya pengadaannya dari satu orang dan bukan urunan. Dalil mengenai hal ini adalah janji pahala yang Allah berikan bagi mareka yang datang jumatan di awal waktu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً

“Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka dia seperti berqurban dengan unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka dia seperti berqurban dengan sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka dia seperti berqurban dengan kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka dia seperti berqurban dengan ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka dia seperti berqurban dengan telur.” (HR. Bukhari 881 & Muslim  850)

Namun jika sapi itu dibeli dari hasil urunan, nilai keutamaannya menjadi berbeda. Karena itulah para ulama membahas, mana yang lebih utama, berqurban dengan seekor kambing atau ikut urunan sapi?.

Banyak ulama yang menegaskan bahwa berqurban dengan seekor kambing, lebih utama dibandingkan ikut urunan sapi. Kita simak penuturan mereka,

[1] Keterangan Ibnu Qudamah – Hambali – ,

والشاة أفضل من شرك (أي : الاشتراك) في بدنة ; لأن إراقة الدم مقصودة في الأضحية , والمنفرد يتقرب بإراقته كله

Qurban seekor kambing lebih utama dibandingkan ikut urunan onta. Karena tujuan utama ibadah qurban adalah Iraqah ad-Dam (menumpahkan darah). Dan satu orang, bisa berqurban dengan menyembelih satu ekor utuh. (al-Mughni, 9/439).

[2] Keterangan as-Syirazi – Syafiiyah –,

والشاة أفضل من مشاركة سبعة في بدنة أو بقرة لأنه يتفرد بإراقة دم

Berqurban dengan seekor kambing, lebih afdhal dibandingkan ikut urunan onta atau sapi bersama 7 orang. Karena qurban seekor kambing berarti menumpahkan  darah (menyembelih) sendirian. (al-Muhadzab, 1/433).

[3] Keterangan Ibnu Qasim Al-Ghazzi –Syafiiyah –

وتجزىء الشاة عن شخص واحد وهي أفضل من مشاركته في بعير

Seekor kambing bisa untuk qurban satu orang, dan seekor kambing lebih utama dibandingkan ikut urunan unta. (Fathul Qarib, hlm. 312)

[4] Keterangan Ibnu Utsaimin,

الأفضل من الأضاحي : الإبل ، ثم البقر إن ضحى بها كاملة ، ثم الضأن ، ثم المعز ، ثم سُبْع البدنة ، ثم سبع البقرة

“Qurban yang paling afdhal adalah onta, lalu sapi, jika qurbannya utuh (tidak urunan), kemudian domba, kemudian kambing jawa, kemudian sepertujuh onta, kemudian sepertujuh sapi.” (Ahkam al-Udhhiyah)

Sapi memang lebih berdaging… namun tujuan utama qurban bukan untuk mencari daging, tapi untuk mencari taqwa kepada Allah…

Allah berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj: 37)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://konsultasisyariah.com/32177-mana-yang-lebih-utama-qurban-kambing-atau-urunan-sapi.html

Monday, 6 August 2018

PEMBUBARAN KAJIAN DI ACEH

Ada yang mbubarin Kajian Sunnah.

Lalu berbicara ditengah dari para hadirin.
Menjelaskanlah orang yang berbicara ini dengan teriak suara keras, dan di campur dengan emosi.

Lalu terjadilah lidah yang terpeleset tanpa sadar.
Sudah tidak ada adab, teriak teriak dalam Masjid, Berdiri, Emosi, dan Marah marah.

Lidah di pelesetkan dengan mengatakan,
"Yang mendapat jaminan Neraka adalah Rasulullah ... "

Astaghfirullah, dengan lirih seluruh jamaah mengucapkan kalimat memohon ampun.

Meski kajian di bubarkan, lantas kajian sunnah ini tidak sama sekali membalas, atau dijadikan bahan keributan.

Sebenarnya yang membuat ribut bukanlah kajiannya.
Namun mereka yang suka membubarkan dengan main hakim sendiri.

Karena sejatinya, mereka teriak NKRI harga mati, namun mereka tidak mematuhi atau mengindahkan peraturan negara sendiri.

Dikarenakan Negara sendiri sudah ada standarisasi kajian mana yang sesat, kajian mana yang memecah belah, kajian mana yang mendiskreditkan pemerintah sehingga berbuat makar atau ada niatan menggulingkan pemerintahan, kajian mana yang membuat rusuh.

Ketahuilah Kajian yang disebut Kajian Sunnah, atau Kajian Salafi Atau kajian Manhaj Salaf, sama sekali bukan salah satu kajian yang dilarang pemerintah. Bahkan Pemerintah dan MUI sendiri tidak menyatakan 1 pernyataan pun untuk dikatakan kajian Sunnah Manhaj Salaf ini adalah Kajian yang memecah belah, apalagi kajian yang sesat.

Sungguh orang orang yang suka mengatakan kajian Sunnah Manhaj Salaf ini adalah sesat dan suka memecah belah, adalah mereka orang orang yang tidak terlepas dari:

1. Tidak mengerti atau awam
2. Wawasan tidak luas
3. Fanatik Organisasi
4. Bodoh
5. Pembenci sunnah yang suka mengedepankan kreasi dalam agama yang suka menambah amalan amalan, dan mengurangi apa yang tidak disukai dalam aturan Agama.
6. Terdoktrin Pemahaman Syiah
7. Yang paling akhir, karena diberi pemikiran untuk membenci dari guru gurunya yang tidak satu pemahaman dari guru tersebut.

Maka sungguh jika Salafi atau Kajian Sunnah Manhaj Salaf ini sesat yang menyimpang, yang mereka tuduh sebagai Wahabi ini adalah suka pemecah belah dan menyesatkan,
Maka, seharusnya pemerintah sudah membubarkan Kajian Sunnah ini, kajian dengan Pemahaman para Salaf, pemahaman Agama yang diambil dari pemahaman Para Sahabat Nabi ini.

Kalau Kajian Sunnah Manhaj Salaf ini dikatakan Sebagai Wahabi, Kejam membunuh para Ulama, membunuh Kaum Muslimin, sungguh ini tuduhan yang Sangat teramat Keji lagi Hina.

Saya sebagai saksi bahwa Kajian Sunnah ini adalah Kajian yang Haq, karena saya benar benar menyaksikan dan saya merasakan.

Karna diri saya pribadi dahulu juga peneriak Kajian Sunnah Manhaj Salaf ini adalah sebagai Kajian Wahabi yang sesat lagi menyesatkan.

Namun dengan ijinNya, sekarang saya sudah mengetahui mana kajian yang haq dan mana kajian yang bathil, yang mana dulu karena kebodohan saya tidak mempunyai wawasan sehingga saya mengikuti orang orang yang salah, semoga saya diberi pengampunan.

Teman teman, belajarlah Agama.
Bukan ikut atau menerima sekedar kajian untuk saling membenci.

Belajar dalam artian baca dan hafalkan amalan keseharian, terapkan, dalam kehidupan sehari hari. Ambil hafalan ini dengan yang sungguh datang dari Nabi, yaitu ambil Quran Sunnah dengan diambil dari Riwayat yang Shahih. Tinggalkan riwayat Yang lemah atau dhoif.

Sementara itu dulu amalkan, dan berdoa semoga ditunjuki jalan yang lurus.

--------

Bandingkan Kajian Sunnah Manhaj Salaf dengan kajian yang membawa hawa nafsu, kajian yang mereka mendoktrin jauhi kelompok ini, jangan pelajari kelompok ini, jangan membaca artikel di google dll yang sifatnya mengkerdilkan wawasan kita, untuk mempersempit wawasan yang mana wawasan ini dapat menjadi sebagai pembanding menuju kebenaran.

Mereka guru atau kajian yang mengajarkan pelarangan membaca buku artikel lain, adalah guru yang cemas, takut akan orang orang mengetahui pemahaman yang lebih tepat dan menyeberangi pendapat dari guru ini.

-------

Teman,
Amalkan amalan yang benar benar shahih dulu, artinya amalkan apa yang sudah pernah di amalkan nabi, yang amalan pernah dilakukan oleh nabi. Kita yang awam lebih selamat mengikuti amalan yang pernah dilakukan nabi. Daripada kita mengikuti amalan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Salallahu 'alaihi wasallam.

Tinggalkan amalan yang belum pernah di lakukan dan tidak diperintahkan oleh Nabi. Jika datang amalan ke kita adalah hasil amalan yang datang dari :

1. Kiyasan kiyasan atau cocoklogi padahal Nabi tidak mengerjakan, dan Nabi tidak secara langsung memerintahkan. Maka tinggalkan dulu, jangan sekedar ikut ikutan. Sampai nanti kita memahami.

2. Datang dari Mimpi sesorang atau mimpi syaikh atau guru atau orang yang dikatakan sebagai orang alim, maka tinggalkan. Meski amalan ini ia klaim dari mimpi Nabi.
Karena sungguh amalan ini tidak pernah ada petunjuknya amalan yang datang lewat dari mimpi. Karena amalan kesemuanya telah sempurna, telah diajarkan seluruhnya dari Nabi untuk kita. Maka tidak ada pengajaran lewat mimpi, atau amalan tambahan lewat mimpi.

Demikian

Falah Amnan Al Islam
Koreksi jika salah ...

Thursday, 2 August 2018

ASMAUL HUSNA

No Nama Arab Artinya

Allah الله Allah
1 Ar Rahman الرحمن Yang Maha Pengasih
2 Ar Rahiim الرحيم Yang Maha Penyayang
3 Al Malik الملك Yang Maha Merajai/Memerintah
4 Al Quddus القدوس Yang Maha Suci
5 As Salaam السلام Yang Maha Memberi Kesejahteraan
6 Al Mu`min المؤمن Yang Maha Memberi Keamanan
7 Al Muhaimin المهيمن Yang Maha Pemelihara
8 Al `Aziiz العزيز Yang Maha Perkasa
9 Al Jabbar الجبار Yang Memiliki Mutlak Kegagahan
10 Al Mutakabbir المتكبر Yang Maha Megah, Yang Memiliki Kebesaran
11 Al Khaliq الخالق Yang Maha Pencipta
12 Al Baari` البارئ Yang Maha Melepaskan (Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan)
13 Al Mushawwir المصور Yang Maha Membentuk Rupa (makhluk-Nya)
14 Al Ghaffaar الغفار Yang Maha Pengampun
15 Al Qahhaar القهار Yang Maha Memaksa
16 Al Wahhaab الوهاب Yang Maha Pemberi Karunia
17 Ar Razzaaq الرزاق Yang Maha Pemberi Rezeki
18 Al Fattaah الفتاح Yang Maha Pembuka Rahmat
19 Al `Aliim العليم Yang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)
20 Al Qaabidh القابض Yang Maha Menyempitkan (makhluk-Nya)
21 Al Baasith الباسط Yang Maha Melapangkan (makhluk-Nya)
22 Al Khaafidh الخافض Yang Maha Merendahkan (makhluk-Nya)
23 Ar Raafi` الرافع Yang Maha Meninggikan (makhluk-Nya)
24 Al Mu`izz المعز Yang Maha Memuliakan (makhluk-Nya)
25 Al Mudzil المذل Yang Maha Menghinakan (makhluk-Nya)
26 Al Samii` السميع Yang Maha Mendengar
27 Al Bashiir البصير Yang Maha Melihat
28 Al Hakam الحكم Yang Maha Menetapkan
29 Al `Adl العدل Yang Maha Adil
30 Al Lathiif اللطيف Yang Maha Lembut
31 Al Khabiir الخبير Yang Maha Mengenal
32 Al Haliim الحليم Yang Maha Penyantun
33 Al `Azhiim العظيم Yang Maha Agung
34 Al Ghafuur الغفور Yang Maha Pengampun
35 As Syakuur الشكور Yang Maha Pembalas Budi (Menghargai)
36 Al `Aliy العلى Yang Maha Tinggi
37 Al Kabiir الكبير Yang Maha Besar
38 Al Hafizh الحفيظ Yang Maha Memelihara
39 Al Muqiit المقيت Yang Maha Pemberi Kecukupan
40 Al Hasiib الحسيب Yang Maha Membuat Perhitungan
41 Al Jaliil الجليل Yang Maha Mulia
42 Al Kariim الكريم Yang Maha Mulia
43 Ar Raqiib الرقيب Yang Maha Mengawasi
44 Al Mujiib المجيب Yang Maha Mengabulkan
45 Al Waasi` الواسع Yang Maha Luas
46 Al Hakiim الحكيم Yang Maha Maka Bijaksana
47 Al Waduud الودود Yang Maha Mengasihi
48 Al Majiid المجيد Yang Maha Mulia
49 Al Baa`its الباعث Yang Maha Membangkitkan
50 As Syahiid الشهيد Yang Maha Menyaksikan
51 Al Haqq الحق Yang Maha Benar
52 Al Wakiil الوكيل Yang Maha Memelihara
53 Al Qawiyyu القوى Yang Maha Kuat
54 Al Matiin المتين Yang Maha Kokoh
55 Al Waliyy الولى Yang Maha Melindungi
56 Al Hamiid الحميد Yang Maha Terpuji
57 Al Muhshii المحصى Yang Maha Mengkalkulasi
58 Al Mubdi` المبدئ Yang Maha Memulai
59 Al Mu`iid المعيد Yang Maha Mengembalikan Kehidupan
60 Al Muhyii المحيى Yang Maha Menghidupkan
61 Al Mumiitu المميت Yang Maha Mematikan
62 Al Hayyu الحي Yang Maha Hidup
63 Al Qayyuum القيوم Yang Maha Mandiri
64 Al Waajid الواجد Yang Maha Penemu
65 Al Maajid الماجد Yang Maha Mulia
66 Al Wahiid الواحد Yang Maha Tunggal
67 Al Ahad الاحد Yang Maha Esa
68 As Shamad الصمد Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta
69 Al Qaadir القادر Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
70 Al Muqtadir المقتدر Yang Maha Berkuasa
71 Al Muqaddim المقدم Yang Maha Mendahulukan
72 Al Mu`akkhir المؤخر Yang Maha Mengakhirkan
73 Al Awwal الأول Yang Maha Awal
74 Al Aakhir الأخر Yang Maha Akhir
75 Az Zhaahir الظاهر Yang Maha Nyata
76 Al Baathin الباطن Yang Maha Ghaib
77 Al Waali الوالي Yang Maha Memerintah
78 Al Muta`aalii المتعالي Yang Maha Tinggi
79 Al Barri البر Yang Maha Penderma
80 At Tawwaab التواب Yang Maha Penerima Tobat
81 Al Muntaqim المنتقم Yang Maha Pemberi Balasan
82 Al Afuww العفو Yang Maha Pemaaf
83 Ar Ra`uuf الرؤوف Yang Maha Pengasuh
84 Malikul Mulk مالك الملك Yang Maha Penguasa Kerajaan (Semesta)
85 Dzul Jalaali Wal Ikraam ذو الجلال و الإكرام Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
86 Al Muqsith المقسط Yang Maha Pemberi Keadilan
87 Al Jamii` الجامع Yang Maha Mengumpulkan
88 Al Ghaniyy الغنى Yang Maha Kaya
89 Al Mughnii المغنى Yang Maha Pemberi Kekayaan
90 Al Maani المانع Yang Maha Mencegah
91 Ad Dhaar الضار Yang Maha Penimpa Kemudharatan
92 An Nafii` النافع Yang Maha Memberi Manfaat
93 An Nuur النور Yang Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya)
94 Al Haadii الهادئ Yang Maha Pemberi Petunjuk
95 Al Baadii البديع Yang Indah Tidak Mempunyai Banding
96 Al Baaqii الباقي Yang Maha Kekal
97 Al Waarits الوارث Yang Maha Pewaris
98 Ar Rasyiid الرشيد Yang Maha Pandai
99 As Shabuur الصبور Yang Maha Sabar

Anggi Happy Pangestu

Sunday, 22 July 2018

USTADZ GAUL DIKRITIK KARENA KESALAHANNYA

Mengingatkan kesalahan seseorang di depan umum tanpa menyebut nama bukanlah termasuk gibah. Karena nabi pernah melakukan demikian. 
Dalam kedua kitab shahih dibawakan hadits berikut dan ini adalah lafazh dari Bukhari.

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan,

Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,

مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ

“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.“

Lihatlah, Nabi shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kesalahan dia di hadapan halayak tanpa menyebut nama. Apakah anda berani mengatakan bahwa nabi berghibah?

"><iframe src="https://web.facebook.com/plugins/post.php?href=https%3A%2F%2Fweb.facebook.com%2FUBCintaSunnah%2Fposts%2F889947237865388&width=500" width="500" height="300" style="border:none;overflow:hidden" scrolling="no" frameborder="0" allowTransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>

Sunday, 15 July 2018

MENYEWAKAN UANG DAN BMT

Menyewakan Uang dan BMT

Di sebagian BMT menerapkan akad ijarah untuk uang. Istilahnya mereka menyewakan uang. Sehingga BMT berhak mendapat upah sewa, sesuai kesepakatan. Apakah ini dibenarkan? Misal sewa 1jt selama 1 bulan, wajib mengembalikan 1 juta dan biaya sewa 100rb.

Katanya ini sdh dikonsultasikan k dewan syariahnya.. mohon penjelasan.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara konsekuensi dalam transaksi utang piutang (al-Qardh) adalah terjadinya perpindahan hak milik terhadap objek utang, dari pemberi utang ke penerima utang. Jika si A memberi utang beras kepada si B, maka beras ini menjadi hak milik si B. dan selanjutnya, si B bisa menggunakan beras itu untuk kepentingan apapun, termasuk dihabiskan.

Berbeda dengan akad pinjam-meminjam (al-Ariyah), objek yang dipinjamkan tidak mengalami perpindahan kepemilikan. Sehingga peminjam tidak memiliki hak apapun terhadap barang itu, selain hak guna terhadap objek itu, selama waktu yang diizinkan pemilik barang.

Jika anda utang motor, maka anda berhak memiliki motor itu. Selanjutnya bisa anda jual, anda sewakan atau digadaikan untuk utang atau bahkan dijual.

Lain halnya jika anda pinjam motor, lalu anda jual, anda atau sewakan atau digadaikan untuk utang, anda akan disebut orang yang tidak amanah. Karena motor ini bukan motor anda, tapi motor kawan anda. Anda hanya memiliki hak guna pakai selama masih diizinkan.

Karena itulah, benda habis pakai, hanya mungkin dilakukan akad utang. Meskipun ketika akad menyebutnya pinjam, namun hukumnya tetap utang. Misalnya, pinjam makanan, uang, atau benda habis pakai lainnya.

Karena status akad itu melihat hakekat dan konsekuensinya, dan bukan melihat namanya.

Dalam hal ini terdapat kaidah yang menyatakan,

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

“Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat” (al-Wajib fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah, hlm. 147).

Barang Habis Pakai Tidak Bisa Disewakan
As-Samarqandi dalam Tuhfatul Fuqaha’ menegaskan,

كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا باستهلاكه، فهو قرض حقيقة، ولكن يسمى عارية مجازا، لانه لما رضي بالانتفاع به باستهلاكه ببدل، كان تمليكا له ببدل

“Semua benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, maka hakekatnya hanya bisa diutangkan. Namun bisa disebut pinjam sebagai penggunaan majaz. Karena ketika pemilik merelakan untuk menggunakan barang itu melalui cara dihabiskan dengan mengganti, berarti terjadi perpindahan hak milik dengan mengganti.” (Tuhfatul Fuqaha’, 3/178)

Al-Kasani menjelasakan dengan menyebutkan beberapa contoh,

وعلى هذا تخرج إعارة الدراهم والدنانير أنها تكون قرضا لا إعارة ; لأن الإعارة لما كانت تمليك المنفعة أو إباحة المنفعة على اختلاف الأصلين , ولا يمكن الانتفاع إلا باستهلاكها , ولا سبيل إلى ذلك إلا بالتصرف في العين لا في المنفعة

“Berdasarkan penjelasan ini dipahami bahwa meminjamkan dinar atau dirham, statusnya adalah utang dan bukan pinjam meminjam. Karena pinjam-meminjam hanya untuk benda yang bisa diberikan dalam bentuk perpindahan manfaat (hak pakai). Sementara dinar dirham tidak mungkin dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan. Tidak ada cara lain untuk itu, selain menghabiskan bendanya bukan mengambil hak gunanya.”

Lebih lanjut, beliau menjelaskan,

لو استعار حليا ليتجمل به صح ; لأنه يمكن الانتفاع به من غير استهلاك بالتجمل… وكذا إعارة كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا باستهلاكه كالمكيلات والموزونات , يكون قرضا لا إعارة لما ذكرنا أن محل حكم الإعارة المنفعة لا بالعين

“Jika ada yang meminjam perhiasan untuk dandan, statusnya sah sebagai pinjaman. Karena perhiasan mungkin dimanfaatkan tanpa harus dihabiskan ketika dandan… sementara meminjamkan benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan, seperti bahan makanan yang ditakar atau ditimbang, statusnya utang bukan pinjam meminjam, sesuai apa yang kami sebutkan sebelumnya bahwa posisi pinjam meminjam hanya hak guna, bukan menghabiskan bendanya. (Bada’I as-Shana’I, 8/374)

Karena itu, TIDAK ada istilah menyewakan uang. Itu hanya alasan untuk mengelabuhi akad ribawi. Yang ada, utang uang. Dan mengambil keuntungan sekecil apapun dari transaksi utang piutang, dilarang dalam islam. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Semua utang yang menghasilkan manfaat statusnya riba” (HR. al-Baihaqi dengan sanadnya dalam al-Kubro)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://konsultasisyariah.com/32034-menyewakan-uang-dan-bmt.html

Wednesday, 11 July 2018

AS SUDAIS

https://www.youtube.com/playlist?list=PLulfB4d9DiaLl0Fq96_PIOZcRDOsPdZOr

Saturday, 30 June 2018

MAKAN DAN MINUM SAMBIL BERDIRI BOLEH

Boleh Makan dan Minum Sambil Berdiri

Dalam masalah ini, sebagian orang bersikap terlalu keras. Demikian sikap kami pula di masa silam. Namun setelah mengkaji dan melihat serta menimbang dalil ternyata dapat disimpulkan bahwa minum dan makan sambil berdiri sah-sah saja, artinya boleh. Karena dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri dan keadaan lain sambil duduk. Intinya, ada kelonggaran dalam hal ini. Tetapi afdholnya dan lebih selamat adalah sambil duduk.

Kami awali pembahasan ini dengan melihat beberapa dalil yang menyebutkan larangan makan dan minum sambil berdiri, setelah itu dalil yang menyebutkan bolehnya. Lalu kita akan melihat bagaimana sikap para ulama dalam memandang dalil-dalil tersebut.

Dalil Larangan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024).

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata,

عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا

“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.” Qotadah berkata bahwa mereka kala itu bertanya (pada Anas), “Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?” Anas menjawab, “Itu lebih parah dan lebih jelek.” (HR. Muslim no. 2024). Para ulama menjelaskan, dikatakan makan dengan berdiri lebih jelek karena makan itu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada minum.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026)

Dalil Pembolehan

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا

“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَمْشِى وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ

“Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini bahkan menyatakan makan sambil berjalan.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

“Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk.” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)

Menyikapi Dalil

Al Maziri rahimahullah berkata,

قَالَ الْمَازِرِيّ : اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم

“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh (terlarang).” (Lihat Fathul Bari, 10: 82)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,

بَلْ الصَّوَاب أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى التَّنْزِيه ، وَشُرْبه قَائِمًا لِبَيَانِ الْجَوَاز ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ ، فَإِنَّ النَّسْخ لَا يُصَار إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَفِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَيَانِ الْجَوَاز لَا يَكُون فِي حَقّه مَكْرُوهًا أَصْلًا ، فَإِنَّهُ كَانَ يَفْعَل الشَّيْء لِلْبَيَانِ مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل ، وَالْأَمْر بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُول عَلَى الِاسْتِحْبَاب ، فَيُسْتَحَبّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيء لِهَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، فَإِنَّ الْأَمْر إِذَا تَعَذَّرَ حَمْله عَلَى الْوُجُوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَاب

“Yang tepat adalah larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menyatakan beliau minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun yang mengklaim bahwa adanya naskh(penghapusan hukum) atau semacamnya, maka itu keliru. Tidak perlu kita beralih ke naskh (penggabungan dalil) ketika masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil yang ada meskipun telah adanya tarikh (diketahui dalil yang dahulu dan belakangan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan yang makruh. Beliau kadang melakukan sesuatu sekali atau berulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (suatu hukum). Dan kadang beliau merutinkan sesuatu untuk menunjukkan afdholiyah (sesuatu yang lebih utama). Sedangkan dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan perintah istihbab (sunnah, bukan wajib). Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna istihbab(sunnah).”(Fathul Bari, 10: 82)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,

وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض

“Yang tepat dalam masalah ini, larangan minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih (bukan haram). Adapun hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan pertentangan sama sekali antara dalil-dalil yang ada.” (Syarh Muslim, 13: 195)

Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata,

وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَى بَعْضهمْ وَجْه التَّوْفِيق بَيْن هَذِهِ الْأَحَادِيث وَأَوَّلُوا فِيهَا بِمَا لَا جَدْوَى فِي نَقْله ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَأَمَّا شُرْبه قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخ أَوْ الضَّعْف فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا . وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْنهمَا لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَإِلَى الْقَوْل بِالضَّعْفِ مَعَ صِحَّة الْكُلّ .

“Sebagian orang bingung bagaimana cara mengkompromikan dalil-dalil yang ada sampai-sampai mentakwil (menyelewengkan makna) sebagian dalil. Yang tepat, dalil larangan dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menunjukkan minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun sebagian orang yang mengklaim adanya penghapusan (naskh) pada dalil atau adanya dalil yang dho’if (lemah), maka itu keliru. Bagaimana mungkin kita katakan adanya naskh(penghapusan) dilihat dari tarikh (adanya dalil yang dahulu dan ada yang belakangan) sedangkan dalil-dalil yang ada masih mungkin dijamak (digabungkan)? Bagaimana kita katakan dalil yang ada itu dho’if (lemah), padahal semua dalil yang menjelaskan hal tersebut shahih? ” (‘Aunul Ma’bud, 10: 131)

Catatan: Sebagian orang mengatakan bahwa minum air zam-zam disunnahkan sambil berdiri berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas. Anggapan ini tidaklah tepat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum zam-zam sambil berdiri menunjukkan kebolehkan saja agar orang tidak menganggapnya terlarang. Jadi yang beliau lakukan bukanlah suatu yang sunnah atau sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan Al Bajuri dalam Hasyiyah Asy Syamail,

وإنما شرب (ص) وهو قائم، مع نهيه عنه، لبيان الجواز، ففعله ليس مكروها في حقه، بل واجب، فسقط قول بعضهم إنه يسن الشرب من زمزم قائما اتباعا له

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Padahal di sisi lain beliau melarangnya. Perbuatan minum sambil berdiri tadi menunjukkan bolehnya. Jadi yang beliau lakukan  bukanlah makruh dari sisi beliau, bahkan bisa jadi wajib (untuk menjelaskan pada umat akan bolehnya). Sehingga gugurlah pendapat sebagian orang yang menyatakan disunnahkan minun air zam-zam sambil berdiri dalam rangka ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dinukil dari I’anatuth Tholibin, 3: 417)

Amannya: Makan dan Minum Sambil Duduk

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah diajukan pertanyaan, “Sebagian hadits nabawiyah menjelaskan larangan makan dan minum sambil berdiri. Sebagian hadits lain memberikan keluasan untuk makan dan minum sambil berdiri. Apakah ini berarti kita tidak boleh makan dan minum sambil berdiri? Atau kita harus makan dan minum sambil duduk? Hadits mana yang lebih baik untuk diikuti?”

Syaikh rahimahullah menjawab:

Hadits-hadits yang membicarakan masalah ini shahihdari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu melarang minum sambil berdiri, dan makan semisal itu. Ada pula hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau minum sambil berdiri.  Masalah ini ada kelonggaran dan hadits yang membicarakan itu semua shahih, walhamdulillah. Sedangkan larangan yang ada menunjukkan makruh. Jika seseorang butuh makan sambil berdiri atau minum dengan berdiri, maka tidaklah masalah. Ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk dan berdiri. Jadi sekali lagi jika butuh, maka tidaklah masalah makan dan minum sambil berdiri. Namun jika dilakukan sambil duduk, itu yang lebih utama.

Ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri. Ada pula hadits dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan duduk.

Intinya, masalah ini ada kelonggaran. Namun jika minum dan makan sambil duduk, itu yang lebih baik. Jika minum sambil berdiri tidaklah masalah, begitu pula makan sambil berdiri sah-sah saja. (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/3415)

Kami dapat simpulkan bahwa minum sambil berdiri itu boleh. Hal ini disamakan dengan makan sebagaimana keterangan dari Syaikh Ibnu Baz di atas. Namun kita tetap minum atau makan dalam keadaan duduk dalam rangka kehati-hatian mengingat dalil yang melarang keras minum sambil berdiri.

Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq fil ‘ilmi wal ‘amal.

 

Baca pula artikel di rumaysho.com:

1. Adab makan penuh barokah (1)

2. Adab makan penuh barokah (2)

3. Sebelum makan, bacalah bismillah

4. Hukum makan dengan tangan kiri

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Rajab 1433 H

#Adab Makan

https://rumaysho.com/2478-boleh-makan-dan-minum-sambil-berdiri.html

Friday, 22 June 2018

SETELAH MANDI WAJIB APAKAH MASIH PERLU BERWUDHU

Setelah kita mandi wajib, apakah masih perlu berwudhu?

Jawaban:

Seseorang yang ingin mengerjakan shalat setelah melaksanakan mandi junub secara syar’i, sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak wajib berwudhu lagi. Alasannya, apabila seseorang bersuci dari hadats besar, maka otomatis dia juga bersuci dari hadats kecil yang mengenainya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ وَصَلاَةَ الْغَدَاةِ وَلاَ أَرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ الْغُسْلِ

Dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi, lalu shalat dua rakaat, dan saya tidak melihat beliau berwudhu lagi setelah mandi.” (Hr. Abu Daud: 259, Ahmad 6/119 dengan sanad shahih)

Hal ini berlaku bagi yang sudah berwudhu saat mandi janabat, maupun belum berwudhu saat mandinya. (Lihat: Shahih Fiqhus Sunnah, Syekh Abu Malik: 1/181)

Wallahu a’alam.

Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 12, tahun ke-7, 1430 H/2009 M.

(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/1954-setelah-mandi-wajib-apakah-masih-perlu-berwudhu.html

Thursday, 21 June 2018

MENGAPA NABI SALALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM BANYAK ISTRI

Jawabannya adalah,
1. Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari poligami beliau ini. Pertama, beliau tidak menikahi wanita-wanita yang masih gadis, padahal beliau mampu untuk melakukannya. Gadis yang beliau nikahi hanya satu orang saja (Aisyah). Sebagian istri beliau adalah janda-janda yang telah memiliki anak, seperti Ummu Salamah, Khodijah, yang lain adalah janda seperti Hafshah, Zainab, dll. Tujuan beliau menikahi ummahatul mukminin tersebut bukan untuk mencari kepuasan, kalau tujuannya mencari kepuasan pastilah beliau menikahi para gadis.

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau menikahi banyak wanita agar sunnah-sunnah yang tidak tampak kecuali di rumah, bisa diriwayatkan secara utuh. Istri-istri beliau berperan dalam meriwayatkan sunnah-sunnah beliau saat di rumah dan para sahabat meriwayatkan sunnah-sunnah beliau ketika di luar rumah. Seandainya beliau hanya beristrikan empat wanita, dua, atau satu saja, maka sunnah-sunnah beliau di rumah hanya disandarkan pada orang yang sangat sedikit, sehingga Allah perintahkan beliau untuk menikahi sembilan perempuan agar riwayat-riwayat tersebut disandarkan kepada orang yang banyak (sehingga menguatkan riwayatk tersebut).

3. Tujuan lainnya adalah menundukkan hati kabilah-kabilah besar agar mereka memeluk Islam. Seperti pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsyi  Shofiyyah binti Huyay bin Akhtab radhiallahu ‘anha, kemudian masuklah segolongan orang Yahudi ke dalam Islam. Demikian juga pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha yang menjadikan kabilah dari Zainab ini masuk Islam. Juga pernikahan beliau dengan anak Abu Bakar dan Umar, yakni Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhum, sehingga hubungan beliau semakin dekat dengan dua sahabatnya ini layaknya menteri-menteri beliau.

Jadi Allah memerintahkan beliau menikahi banyak wanita memiliki hikmah dan pelajaran yang banyak, baik hikmah tersebut kita ketahui atau hikmah itu Allah simpan dalam ilmu-Nya saja, dan hal ini termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

#ISTRI NABI

Sunday, 10 June 2018

APA BOLEH MEMBACA SURAT SELAIN AL FATIHAH DI RAKAAT KE 3 DAN 4 ?

PSL/090615/SHALAT/006
.
Assalamu'alaikum
APA BOLEH MEMBACA SURAT SELAIN AL FATIHAH DI RAKAAT KE 3 DAN 4 ?
.
Membaca surat Al Fatihah dengan lirih di rakaat ketiga dan keempat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat, rakaat ketiga dilakukan sama dengan rakaat kedua, yang berbeda hanyalah bacaan yang tidak dijaherkan (tidak dikeraskan).
.
Abu Bakr Al Hishniy berkata, “Tidak dianjurkan untuk membaca surat lain selain Al Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat menurut pendapat yang lebih kuat.
Kecuali jika sebagai makmum masbuk, maka surat selain Al Fatihah masih dibaca pada rakaat ketiga atau keempat. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i.” (Kifayatul Akhyar, hal. 160).
.
Namun sebenarnya sesekali membaca surat lain setelah Al Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat itu dibolehkan. Berdasarkan hadits berikut,
Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca surat di shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua pada setiap rakaat sekitar membaca 30 ayat. Pada rakaat ketiga dan keempat membaca 15 ayat. Sedangkan waktu Ashar membaca separuh dari waktu Zhuhur, yaitu rakaat pertama dan kedua membaca 15 ayat di masing-masing rakaat. Kemudian di rakaat ketiga dan keempat membaca separuh dari itu. (HR. Muslim no. 452).
.
Padahal surat Al Fatihah berjumlah 7 ayat. Berarti di rakaat ketiga dan keempat bisa dibaca lebih dari surat Al Fatihah.
Semoga bermanfaat.

Thursday, 7 June 2018

SHALAT JUMAT GUGUR KARENA TELAH MELAKSANAKAN SHALAT IED

Shalat Jumat dan Shalat Zhuhur Gugur Karena Shalat Ied, Benarkah?

Apakah tetap shalat Zhuhur bagi yang meninggalkan shalat Jumat karena telah melaksanakan shalat ied di pagi harinya? Atau kita katakan karena telah melaksanakan shalat ied di hari Jumat, shalat Jumat dan shalat Zhuhur boleh tidak dikerjakan.

Karena sebagian orang memahami, kalau sudah shalat ied, maka tidak mengapa tidak shalat Jumat. Dan ketika itu tidak ada juga shalat Zhuhur.

Jika Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha) Bertepatan dengan Hari Jumat

Ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa bila hari raya bertepatan dengan hari jumat, jika telah melaksanakan shalat ied, maka boleh tidak shalat Jumat lagi. Beberapa dalil yang jadi pendukung sebagai berikut.

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Kedua: Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.

“Ibnu Az-Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di pagi hari. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az- Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah (menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Apakah Shalat Jumat dan Shalat Zhuhur Jadi Gugur?

Ada dua dalil yang dijadikan sebagian ulama bahwa Shalat Jumat dan Shalat Zhuhur gugur sekaligus.

‘Atha’ berkata,

اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلاَّهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ

“Di masa Ibnu Az-Zubair pernah hari ied jatuh pada hari Jumat. Ibnu Az-Zubair lantas berkata, ‘Telah bergabung dua hari raya (hari ied dan hari Jumat) di satu hari. Dia menggabungkan keduanya.’ Di pagi hari ia melakukan shalat dua raka’at dan Ibnu Az-Zubair tidak menambah lagi dari itu sampai ‘Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1072. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Pada hari ini telah tergabung pada kalian dua hari raya. Siapa yang mau, shalat ied itu sudah mencukupi dari Jumat. Aku sendiri menggabungkannya.” (HR. Abu Daud no. 1073, Ibnu Majah no. 1311. Hadits ini dha’if menurut Al-Hafizh Abu Thahir. Namun hadits ini memiliki penguat dan sudah cukup dengan hadits sebelumnya)

Dalil di atas dipahami oleh Imam Asy-Syaukani sebagai berikut.

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Kalau Ibnu Az-Zubair menyebut tidak menambah shalat apa pun sampai ‘Ashar, secara tekstual menunjukkan bahwa Ibnu Az-Zubair tidak melaksanakan shalat Zhuhur. Kalau shalat Jumat dikatakan gugur, maka tidaklah wajib pula melaksanakan shalat Zhuhur. Inilah pendapat dari Atha’. Inilah yang disebut dalam kitab Al-Bahr. Pendapat ini muncul karena menganggap bahwa shalat Jumat itu asal (pokok). Yang diwajibkan di hari Jumat adalah shalat Jumat. Karenanya mewajibkan shalat Zhuhur bagi yang meninggalkan shalat Jumat (pada kondisi tersebut, pen.) ketika ia meninggalkannya ada uzur ataupun tidak, harus ada dalil. Nyatanya tidak ada dalil yang dijadikan pegangan sejauh yang kuketahui.” (Nail Al-Authar, 4: 408)

Sanggahan untuk Pendapat yang Menyatakan Gugurnya Shalat Zhuhur dan Jumat Sekaligus

Pendapat Imam Asy-Syaukani rahimahullah di atas disanggah oleh Al-‘Azhim Abadi, “Pendapat tersebut adalah pendapat yang keliru (batil). Yang tepat sebagaimana yang dipilih oleh Al-Amir Al-Yamani (Ash-Shan’ani) dalam Subulus Salam, begitu pula disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Muntaqa setelah menyebutkan riwayat Ibnu Zubair.” (‘Aun Al-Ma’bud, 3: 321)

Sebagaimana diisyaratkan oleh Al-‘Azhim Abadi ada sanggahan dari Al-Amir Ash-Shan’ani. Lengkapnya Ash-Shan’ani menyanggah seperti berikut,

“Sebagaimana disebutkan bahwa Atha’ menyatakan, Ibnu Az-Zubair tidaklah keluar melaksanakan shalat Jumat. Ini bukan dalil tegas bahwa Ibnu Az-Zubair tidak mengerjakan shalat Zhuhur di rumahnya. Memastikan bahwa Ibnu Az-Zubair berpendapat bahwa shalat Zhuhur jadi gugur di hari Jumat karena telah melaksanakan shalat ied adalah pendapat yang tidak benar. Karena ada kemungkinan Ibnu Az-Zubair melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan dalam perkataan Atha’ sendiri disebutkan bahwa Ibnu Az-Zubair tidak keluar untuk melakukan shalat Jumat, namun ia melakukan shalat sendiri, tentu shalat tersebut adalah shalat Zhuhur. Jadi tidak ada yang mendukung kalau shalat Zhuhur tersebut jadi gugur.

Dalam hadits tidak disebutkan bahwa Ibnu Az-Zubair melaksanakan shalat Jumat seorang diri. Karena shalat Jumat memang harus dilaksanakan secara berjama’ah. (Sehingga yang dimaksudkan shalat seorang diri adalah shalat Zhuhur, pen.)

Lalu pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat itu asalnya (pokoknya), sedangkan shalat Zhuhur hanyalah pengganti tidaklah tepat. Yang tepat adalah shalat Zhuhur itulah yang pokoknya (asalnya) karena shalat Zhuhur yang diwajibkan pada malam Isra’. Sedangkan shalat Jumat barulah belakangan diwajibkan. Ketika shalat Jumat itu luput dilakukan, berdasarkan sepakat ulama tetap wajib shalat Zhuhur. Shalat Jumat itulah pengganti dari shalat Zhuhur. Pembahasan ini ada secara tersendiri (yaitu dalam kitab Ash-Shan’ani bernama Al-Lum’ah fi Tahqiq Syaraith Al-Jum’ah, pen.).” (Subulus Salam, 3: 146)

Kesimpulan Bila Hari Raya Jatuh pada Hari Jumat

1- Siapa yang telah menghadiri shalat ied, maka ia mendapatkan keringanan untuk tidak menghadiri shalat Jumat. Sebagai gantinya, ia mengerjakan shalat Zhuhur di waktu Zhuhur. Namun tetap yang lebih baik (afdhal) adalah mengerjakan shalat Jumat bersama para jama’ah lainnya.

2- Siapa yang tidak menghadiri shalat ied, maka ia tidak mendapatkan keringanan tadi. Ia harus tetap menghadiri shalat Jumat. Jika tidak mendapati orang yang melaksanakan shalat Jumat, barulah diganti dengan shalat Zhuhur.

3- Wajib bagi imam masjid untuk tetap mengadakan shalat Jumat agar bisa dihadiri oleh orang-orang yang tidak menghadiri shalat ied di pagi harinya.

4- Azan hendaklah dikumandangan di masjid-masjid yang diadakan shalat Jumat saja, tidak disyariatkan bagi yang melaksanakan shalat Zhuhur.

5- Pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dan shalat Zhuhur gugur bagi yang telah menghadiri shalat ied adalah pendapat yang tidak benar. Pendapat ini adalah pendapat yang nyleneh atau aneh (gharib) karena menyelisihi tuntunan, juga menggugurkan kewajiban tanpa dalil. Masa jadinya, shalat dalam sehari jadi empat waktu? Intinya, shalat Zhuhur tetap ada bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat ketika paginya telah menghadiri shalat ied.

Wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Referensi:

‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Cetakan pertama, tahun 1430 H. Abu ‘Abdirrahman Syaraful Haq Muhammad Asyraf Ash-Shidiqi Al-‘Azhim Abadi. Penerbit Darul Fayha’.

Nail Al-Authar min Asrar Muntaqa Al-Akhbar. Cetakan kedua, tahun 1429 H. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Penerbit Dar Ibnul Qayyim.

Subulus Salam. Cetakan kedua, tahun 1432 H. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Sunan Abi Daud. Cetakan tahun 1430 H. Al-Imam Al-Hafizh Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats. Penerbit Darus Salam.

http://dar-alifta.org.eg/AR/Default.aspx

http://islamqa.info/ar/109323



Sumber : https://rumaysho.com/11424-shalat-jumat-dan-shalat-zhuhur-gugur-karena-shalat-ied-benarkah.html

#IDUL FITRI

Tuesday, 5 June 2018

LEBARAN UNTUK ORANG MISKIN

Ramadhan,
Boleh donk yang miskin makan enak..

Buka Puasa makan Kremes Lele.
Telur Orak Arik
Roti pencuci mulut (tanpa sabun)

Makan enak meski tak ada uang.

___________________________

Coba orang orang pada baik sepanjang tahun, sebaik pada Bulan Ramadhan.
Yang miskin pastinya tidak khawatir dengan yang namanya kelaparan.

Yang tidak ada THR, yang tidak pegang uang, yang tidak mempunyai sesuatu yang wah dan baru di lebaran nanti, temen temen yang berkriteria ini jangan sedih ya.

Falah menemani Anda, tidak hanya kita kok. Namun buanyak yang seperti kita. Tak perlu sedih tak perlu risau. Para Ulama dulu banyak yang miskin, banyak yang susah sekedar untuk makan. Para Ulama bahkan mereka ada yang dihinakan di mata manusia, bahkan tersingkir di keramaian hiruk pikuk gemerlap dunia. Ada pula Ulama yang sakit sakitan, ada yang lumpuh, ada yang sedemikian kesusahannya.

Muslim itu jika beriman, mereka akan diberi cobaan. Semakin dia kuat beriman, semakin berat pula cobaan ini sudah pasti, disebutkan kok didalam Al Qur'an.

Ulama mereka ada yang miskin susah makan.
Dijama dan sekeliling kita ada juga kok Falah dan teman teman merasakan.
Dijaman kita nan jauh disana Palestina sana,mereka jauh sekali dibawah kita, mereka bukan miskin lagi namun mereka bahkan lebih ke kelaparan, ketakutan, dan nyawa terancam lebih mudah hilang.

Kita, jika mengacu berpatokan kepada tetangga tetangga kita yang serba baru mereka punya barang dilebaran, maka kita akan susah dan jauh dengan kata bersyukur.

Hendaknya, kita bercermin melihat yang ada dibawah kita. Lihat dan bersyukurnya kita yang ada di Indonesia. Kita Aman, Nyaman, masih bisa makan, makan enak pula meski hanya dari uluran tangan manusia. Daripada saudara kita yang ada di Palestina, Suriah, Somalia, Rohingya, dan lain sebagainya.

Jangan sedih ya, Para ulama dan orang orang di Palestina dan lainnya iman mereka tinggi, meski mereka miskin tapi mereka tetap mulia kok.

Kita juga bisa, meski miskin namun tetap mulia seperti mereka, dengan cara mensyukuri apa yang ada.

Senyum yah .. Semangat menjalaninya, tidak ada yang baru tidak apa apa, Ramadhan dan Lebaran itu intinya bagaimana kita menjalaninya supaya menjadi ibadah menjadi berkah mulia, itu intinya. Bukan malah Ramadhan dan lebaran membuat kita congkak sombong dan pamer lekayaan yang dipunya, jatuhnya Ramdhan rugi bukan berkah dan mulia, karena amalannya habis dimakan kesombongan larena hal baru yang dipamer dan sombongkan. Inget ya, manusia ada setitik kesombongan dihatinya, dia harom mencium baunya surga. Baunya aja harom nggak dapet, apalagi memasuki kaplingannya.

Kita yang miskin jauh lebih mudah menjauh dari sifaf sombong, congkak, ujub, riya, dan pamer tadi.
Namun kita juga jaga yah yang miskin untuk tidak iri, hasad dan dengki melihat saudara kita yang serba baru dan ada.

Iri, hasad dan dengki obatnya mudah, sibukkan diri dengan ibadah yang lebih kenceng diakhir atau 10 hari terakhir bulan ramadhan. Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam juga kok, saat akhir ramadhan ibadahnya kenceng lagi, bukan mengibukkan diri belanja cari roti baju dan shoping ngemol itu enggak kok. Maka kita tiru dan teladani ibadahnya Nabi, bukan tiru pada umumnha mnusai lain yang sibuk belanja di akhir ramadhan.
Mudah kan obat penyakit hati untuk kita orang miskin?

Kalau mereka yang kaya, pastinya susah untuk menghindari pamer, sombong, ujub, riya dan lainnya. Dan mereka akan lebih cenderung untuk sibuk dengan harta kekayaan mereka, akan sibuk beli dan ngemall kesana kemari cari barang paling bagus untuk akhir ramadhan dan lebaran. Mereka akan lebih mudah silau harta dan tidak mencontoh nabi kita untuk lebih giat dalam beribadah di akhir dibulan ramadhan.

Maka, dengan melihat dari penyakit hati orang kaya dan miskin, harusnya kita lah yang miskin yang lebih banyak bersyukur. Kita lebih mudah untuk lebih giat beribadah daripada orang orang kaya.

Ingat, Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam lebih khawatir dengan umatnya yang diberi cobaan kaya harta daripada khawatirnya terhadap miskinnya umatnya.

Artinya, cobaan orang yang kaya lebih mudah menjerumuskan karena harta dunia. Sedang orang miskin tidak ada cobaan untuk terjerumus dalam harta dunia.

Sedang kita tau, cobaan yang paling berat adalah harta, disamping dari cobaan wanita.

So, jadi, sok atuh kita yang miskin semangat. Tidak ada yang baru dan masih susah makan, kita jalani dengan semangat. Jangan khawatir sudah lapar, nanti masih ada zakat untuk kita supaya dihari lebaran kita masih bisa senyum bahagia tidak memikirkan kesusahan susahnya makan keseharian.

Lebaran kita terjamin kok perut kita, tidak perlu cemas dengan yang namanya lapar di hari lebaran.

Semangat ..
Jangan lupa 10 hari terakhir ramadhan, kita harusnya sedih karena ramadhan segera meninggalkan.
Harusnya sedih sudah belum kita mendapat ampunan di bilan ini, celaka looo orang yang tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan.

Makanya, ibadah dikencengin sungguh sungguh bukan malah kenceng dan sungguh sungguh ngemall nya ..

Falah Amnan Al Islam