Saturday, 25 May 2019

MENGATASI OBLAK LONGGARNYA PORT CHARGER PADA NOKIA 6.1 PLUS

#Share
#Tips
#Pengetahuan
#Nokia61Plus
#Oblak
#Goyang
#Charge
#UsbTypeC
#Solusi

Cara mengatasi Port Usb Type C Oblak Oglak Goyang pada Nokia 6.1 Plus

Penjelasan
Port Oblak dan apapun itu kita namai pada port Usb yang goyang, disebabkan karena Perangkat pada Nokia pada lobang Usb nya adalah longgar. Lebih longgar daripada apa yang seharusnya menjadi standard hape lain, dan usb type c pada kabel lebih kecil daripada lobang pada perangkat hapenya sendiri.

Karena longgarnya antara lobang usb hape dan Colokan usb, maka saat kita colokkan pada port tersebut terjadilah tidak kokoh saat menancap.

Berbeda dengan hape hape lain, mereka menancap dengan mantap tanpa goyang sedikitpun, dikarenakan antara lobang dan colokan usb kabel charge nya adalah dengan ukuran yang sama dan rapat sekali, sehingga space pada bagian tersebut sangat rapat sehingga oblak atau goyang tidak terjadi. Dengan begitu otomatis saat mencolokkan charge dan mencabut adalah aman dengan menarik dan mendorong secara tegak lurus, sehingga port didalamnya aman tidak terjadi paksaan kanan atau kiri, yang menyebabkan rusaknya komponen di dalam port charge tsb.

Karena hal tersebut, kelemahannya adalah terlalu longgarnya lobang port charger pada hape nokia kita.

Apakah dengan begitu akan cepet rusak?
Jawabannya adalah iya dan tidak, tergantung bagaimana kita sebagai user. Port akan normal normal saja dengan catatan.

1. Cara memasang dan mencopot saat melakukan pengisian ulang batre, kita harus benar benar menjaga port tersebut supaya garis lurus dengan tarikan atau dorongan port tersebut. Disini tidak diperbolehkan dengan cara di goyang atau di ongkek.

2. Jika terjadi pengisian daya rusak atau susah di charge, ini adalah dikarenakan kurang benar nya user saat melakukan kontak antara port pengisi daya. (Dalam kasus ini hape lain juga pasti akan mengalami rusak portnya, namun dengan jangka waktu lama karena presisinya mereka punya port pengisi daya. Di Nokia, jangka waktu rusak nya lebih pendek dikarenakan potensi gerakan paksaan yang merusak komponen didalam, sangat rentan karena longgar port ini)

Cara mengatasi,
Dikarenakan apa yang telah dipaparkan diatas, kita tau bahwa masalahnya adalah longgarnya port charging pengisi daya pada hape ini.
Dengan begitu bisa diatasi bagaimana cara supaya port tidak terjadi longgar antara port usb dan lobang pada hape nokia ini.

Salah satu caranya adalah menempelkan sesuatu ke usb type c pada charger seperti selotip supaya space rapat. Untuk supaya saat di colokkan atau di cabut tidak terjadi goyangan atau ongkek an didalam komponen yang menjadi salah satu penyebab utama rusaknya charge pada hape nokia, sehingga kita bisa menarik atau memasukkan port charge dengan garis tegak lurus.

Sehingga dengan demikian, port lobang kita dan space dari colokan usb type c  terjadi kerapatan yang sama dengan hape hape lain. Dan meminimalisir kerusakan karena terjadinya gerakan paksaan pada bagian dalam port charge di hape nokia.

Dengan rapatnya port dan tidak goyangnya port, maka kita bebas memainkan hape saat kita sedang mengisi daya.
Mau buat balasan whatsapp atau untuk medsos lain, ataupun bermain game maka ini aman aman saja.

Namun begitu, hape apapun saat ini, kita tidak disarankan memainkan hape saat sedang mengisi daya.

Selamat mencoba.

Sumber grup ini, klik link postnya. Tinggalkan like dan komen untuk share dan up post ke atas. Semoga bermanfaat.

Falah Amnan

Thursday, 23 May 2019

Akidah Ust Abdul Somad

https://www.ayat-kursi.com/2018/02/kesalahan-fatal-ustadz-abdul-somad-yang.html?m=1

Saturday, 18 May 2019

ULAMA YANG MEMBOLEHKAN MEMBERONTAK

ULAMA YANG "MEMBOLEHKAN" MEMBERONTAK

Islam itu Ibarat sungai yang begitu jernih hulunya, namun semakin jauh ke hilir semakin banyak kotoran yang merubah kejernihannya.

Apa-apa yang dahulu menjadi bagian dari ajaran Islam, tradisi dan ijma salafus sholeh, kini menjadi seolah-olah sesuatu yang asing tak dikenal oleh kaum muslimin, bahkan dianggap bukan dari ajaran Islam. Orang yang menyampaikannya akan siap di bulli, diejek,dihina sekalipun ia bawa segudang dalil dari Quran dan sunnah yang sahih, ijma generasi salaf terdahulu.

Bila seseorang dinobatkan menjadi ulama, maka dibangun “image” apapun yang dikatakannya harus ditaati ummat, tidak boleh diselisihi dan ditentang. Meski hakikatnya ia tergelincir menyelisihi prinsip-prinsip ahlus sunnah waljama’ah, menggiring ummat pada kehancuran, pertumpahan darah, dan tercerai-berainya ikatan ukhuwwah Islamiyah antara sesama kaum muslimin.

Inilah nukilan sikap ulama salaf terdahulu terhadap seseorang yang menyelisihi satu prinsip ahlus sunnah wal jamaah, semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita agar tidak tergelincir.

Namanya Alhasan bin Sholeh ibn Hayy al-Hamadani(wafat 169h). Ia sosok Alim ulama yang zuhud, wara’ dipenuhi dengan rasa takut pada Allah, pemilik hafalan ribuan hadis, kuat hafalan dan begitu mudah meneteskan air mata karena takut pada Allah.

Hidup sezaman dengan ulama-ulama salaf semisal Sufyan at-Tsauri dan lain-lain. Menurut Abu Hatim ar-Razi-yang terkenal ketat dalam mengoreksi pembawa hadis- bahwa Alhasan  bin Sholeh al-Hamadani ini termasuk dalam rombongan perawi hadis yang tsiqah, pemilik hafalan yang kuat.

Pernah Seseorang memintanya untuk menerangkan kaifiat memandikan jenazah, ia malah menangis tersedu-sedu merasa diingatkan pada kematian.

Banyak ulama yang memuji sifat khusyuknya, berkata tentangnya seorang ulama yang bernama Abu Sulaiman Ad-Darani;” tak pernah tampak bagiku orang wajahnya lebih dipenuhi rasa takut dan khusyuk dari  Al-Hasan bin Sholeh.

Lebih menakjubkan lagi dari dirinya adalah sifat qona’ah dan zuhudnya, ia pernah bertutur tentang dirinya;”terkadang dikantongku tak ada sepeser uang dirhampun namum kurasa dunia menjadi milikku.

Sifat jujurnya juga sangat mengagumkan, pernah ia menjual seorang budak wanita miliknya kepda seseorang, khawatir dianggap tak jujur dan menipu maka ia berterus terang pada pembeli dan berkata:” budakku ini pernah mengeluarkan dahak yang bercampur darah dahulu”.

Pernah diceritakan tampak diraut wajahnya ketakutannya yang bersangatan dari azab Allah tatkala mendengarkan ayat yang dibaca tentang azab, sehingga wajahnya menjadi pucat pasi.

Ia terkenal dengan sholat malamnya yang panjang semasa hidupnya, ia membagi malam nya menjadi tiga bagian, untuk ibunya, adiknya dan untuk ibadah bagi dirinya. Tatkala ibu dan adiknya wafat, maka seluruh malamnya ia gunakan untuk ibadah.

Berkata Abu Zur’ah Ar-Razi memujinya;”
Ia sosok yang mengumpulkan sifat itqan(tekun dan teliti) ahli fikih? Ahli ibadah plus ahli zuhud.

Begitu banyak pujian dan sanjungan ulama salaf atas kebaikannya, namun.......

Para ulama sepakat menyatakannya sebagai Ahlu bid’ah dan memperingatkan ummat dari bahaya dirinya.

Ada yang menolak seluruh riwayat hadis darinya, bahkan dengan keras mencelanya, berkata Ahmad bin Yunus sebagaimana yang telah dinukil imam Ahmad bin Hambal;” alangkah indahnya sekiranya Alhsan Bin Sholeh itu tidak pernah dilahirkan ke muka bumi ini”.

Kira-kira tahukah anda mengapa sepakat ulama menolaknya dan mengabaikan segala kebaikan dalam dirinya?
Menolak segala riwayat dari dirinya?
Mengingatkan orang untuk waspada tidak mengambil ilmu darinya?

Jawabnya hanya karena ia membolehkan memberontak pada penguasa yang zalim, sekedar itu saja, padahal ia tidak memberontak, hanya sekedar mengeluarkan fatwa boleh memberontak.

Berkata Imam Zahabi tentangnya:” Ia membolehkan memberontak terhadap penguasa zalim di zamannya, meski ia tidak terlibat pemberontakan”.

Berkata Imam Az-Zahabi:” ia(Alhasan bin Sholeh adalah salah seorang ulama besar dalam Islam, sekiranya ia tidak tergelincir dalam bid’ah membolehkan memberontak (pada penguasa muslim)”.

Kisah diatas mengajarkan kita sesatnya fatwa yang membolehkan memberontak pada penguasa zalim. Tidak ada basa-basi dalam hal ini, meskipun orang yang berpendapat tersebut terkenal keilmuan dan kesalehannya, zuhud dan wara’ nya.

Para Ulama Salaf menimbang seseorang bukan hanya dari sisi kepiawaiannya dalam ilmu agama, taatnya dalam ibadah, kuatnya sholat malam dan lembutnya hati mudah meneteskan air mata, tetapi ditimbang dengan cara beragamanya yang lurus dalam mengikut jejak para salaf, bahkan mereka tak ragu-ragu mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah hanya karena menyelisihi satu prinsip dasar dalam Islam.

——————
Johor Baharu-Batam,
11 Ramadhan 1440 / 16 Mei 2019.

👤Abu Fairuz My

Via Mahasiswa Madinah
https://www.facebook.com/111362162557648/posts/855929281434262/

•┈•◎❅❀❦❖ 🌸 🌻 ❤ 🌻 🌸❖❦❀❅◎•┈•

Friday, 17 May 2019

KAPAN WAKTU ZAKAT FITHRI

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah

Berdasarkan keterangan ini, waktu menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) ada dua:

Waktu boleh, yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya.

Waktu utama, yaitu pada hari hari raya sebelum shalat.

Adapun mengakhirkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) sampai setelah shalat maka ini hukumnya haram dan zakatnya tidak sah.

By Ustadz Ammi Nur Baits -

Permasalahan zakat fitrah

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Akhir-akhir ini sudah banyak lembaga zakat yang membuka stand untuk menampung muslimin yang ingin mengeluarkan zakat fitrahnya. Mereka berpendapat bahwa zakat fitrah sudah boleh dikeluarkan mulai sekarang (sebelum id), karena jika semua orang mengeluarkan zakat fitrahnya secara bersamaan pada saat malam menjelang id, amil zakat akan sangat kesulitan mendistribusikan zakat-zakat tersebut.

Pertanyaan:

Apakah hal ini diperbolehkan, Ustadz?Lebih baik manakah: mengeluarkan zakat fitrah di tempat kita tinggal atau di lokasi lain? Misal, saya tinggal di Denpasar, lalu sebelum id, saya akan mudik ke Jawa, lebih baik di manakah zakat fitrah saya keluarkan?

Syukron, jazakumullohu khoiron.

Abu Fawzan (fawzan**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Waktu mulai menunaikan zakat fitri (zakat fitrah)

Penamaan yang ditunjukkan dalam hadis untuk zakat ini adalah “zakat fitri” (arab: زكاة الفطر ), bukan “zakat fitrah”. Gabungan dua kata ini ‘zakat fitri’ merupakan gabungan yang mengandung makna sebab-akibat. Artinya, penyebab diwajibkannya zakat fitri ini adalah karena kaum muslimin telah selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadan (berhari raya).” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, jilid 23, hlm. 335, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait).

BERDASARKAN PENGERTIAN DI ATAS, ZAKAT FITRI INI (ZAKAT FITRAH) DISYARIATKAN DISEBABKAN ADANYA “FITRI”, YAITU WAKTU SELESAINYA BERPUASA (MASUK HARI RAYA).

RANGKAIAN DUA KATA INI ‘ZAKAT FITRI’ MENGANDUNG MAKNA PENGKHUSUSAN. ARTINYA, ZAKAT INI KHUSUS DIWAJIBKAN KETIKA ADA WAKTU FITRI. SIAPA SAJA YANG MENJUMPAI WAKTU FITRI INI, ZAKAT FITRINYA WAJIB DITUNAIKAN.

SEBALIKNYA, SIAPA SAJA YANG TIDAK MENJUMPAI WAKTU FITRI MAKA TIDAK WAJIB BAGINYA DITUNAIKAN ZAKAT FITRI.

Kapan batas waktu “fitri” (zakat fitrah)?

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu “fitri” adalah waktu sejak terbenamnya matahari di hari puasa terakhir sampai terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal. (Syarh Shahih Muslim An-Nawawi, 7:58)

Syekh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) di awal Ramadan. Dalam Fatawa Arkanul Islam Syekh Ibnu Utsaimin, hlm. 434, jawaban beliau termuat, “Zakat fitri (zakat fitrah) dikaitkan dengan waktu ‘fitri’ karena waktu ‘fitri’ adalah penyebab disyariatkannya zakat ini. Jika waktu fitri setelah Ramadan (tanggal 1 Syawal) merupakan sebab adanya zakat ini, itu menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) ini terikat dengan waktu fitri tersebut, sehingga kita tidak boleh mendahului waktu fitri.

Oleh karena itu, yang paling baik, waktu mengeluarkan zakat ini adalah pada hari Idul Fitri, sebelum melaksanakan shalat. Hanya saja, boleh didahulukan sehari atau dua hari sebelum shalat id, karena ini akan memberi kemudahan bagi pemberi dan penerima zakat. Adapun sebelum itu –pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama adalah– tidak boleh.

Berdasarkan keterangan ini, waktu menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) ada dua:

Waktu boleh, yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya.

Waktu utama, yaitu pada hari hari raya sebelum shalat.

Adapun mengakhirkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) sampai setelah shalat maka ini hukumnya haram dan zakatnya tidak sah.

Berdasarkan hadis Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,

من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات

‘Barang siapa yang menunaikan zakat fitri sebelum shalat maka itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka statusnya hanya sedekah.’
(H.r. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Kecuali bagi orang yang tidak tahu tentang hari raya, seperti orang yang tinggal di daratan terpencil, sehingga dia agak telat mengetahui waktu tibanya hari raya, atau kasus semisalnya. Dalam keadaan ini, diperbolehkan menunaikan zakat fitri setelah shalat id, dan statusnya sah.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more https://konsultasisyariah.com/6675-zakat-fitrah-dan-waktunya.html

#Zakat Fitrah

PENERIMA ZAKAT FITHRI SIAPA SAJA

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Ustadz, Siapa saja orang yang berhak menerima zakat fitrah? Jazakallahu khairan atas jawaban Ustadz.

Jawaban untuk orang yang berhak menerima zakat fitrah

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.

Bagaimana dengan enam golongan yang lain?

Dalam surat At-Taubah, Allah berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  (التوبة: 60

“Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)

Ayat di atas menerangkan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika kata “zakat” terdapat dalam Alquran secara mutlak, artinya adalah ‘zakat yang wajib’. Oleh sebab itu, ayat ini menjadi dalil yang menguraikan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat harta, zakat binatang, zakat tanaman, dan sebagainya.

Meskipun demikian, apakah ayat ini juga berlaku untuk zakat fitri, sehingga delapan orang yang disebutkan dalam ayat di atas berhak untuk mendapatkan zakat fitri? Dalam hal ini, ulama berselisih pendapat.

Pertama, zakat fitri boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah pada surat At-Taubah ayat 60 di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan zakat fitri dengan “zakat”, dan hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena itulah, zakat fitri berstatus sebagaimana zakat-zakat lainnya yang boleh diberikan kepada delapan golongan. An-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi’iyah) adalah zakat fitri wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta.” (Al-Majmu’)

Kedua, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut, selain kepada fakir dan miskin. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Dalil pendapat kedua:

Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Berkaitan dengan hadis ini, Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.”
(Nailul Authar, 2:7)

Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan zakat fitri dan membagikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.’”
(Hr. Al-Juzajani; dinilai sahih oleh sebagian ulama)

Yazid (perawi hadis ini) mengatakan, “Saya menduga (perintah itu) adalah ketika pagi hari di hari raya.”

Dalam hadis ini, ditegaskan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.

Di samping dua alasan di atas, sebagian ulama (Ibnul Qayyim) menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah membayarkan zakat fitri kecuali kepada fakir miskin. Ibnul Qayyim mengatakan, “Bab ‘Zakat Fitri Tidak Boleh Diberikan Selain kepada Fakir Miskin’. Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang miskin dengan zakat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikan zakat fitri kepada seluruh delapan golongan, per bagian-bagian. Beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu. Itu juga tidak pula pernah dilakukan oleh seorang pun di antara sahabat, tidak pula orang-orang setelah mereka (tabi’in). Namun, terdapat salah satu pendapat dalam mazhab kami bahwa tidak boleh menunaikan zakat fitri kecuali untuk orang miskin saja. Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitri kepada delapan golongan.” (Zadul Ma’ad, 2:20)

BERDASARKAN KETERANGAN DI ATAS, DAPAT DISIMPULKAN BAHWA ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH ADALAH FAKIR MISKIN SAJA.

Catatan:

Sebagian orang memberikan zakat fitri untuk pembangunan masjid, rumah sakit Islam, yayasan-yayasan Islam, atau pemuka agama. Apa hukumnya?

Jika kita mengambil pendapat bahwa zakat fitri hanya boleh diberikan kepada fakir miskin maka memberikan zakat fitri kepada masjid, yayasan Islam, atau tokoh masyarakat yang bukan orang miskin itu termasuk tindakan memberikan zakat kepada sasaran yang tidak berhak. Sebagian ulama menerangkan bahwa memberikan zakat kepada golongan yang tidak berhak itu dinilai sebagai tindakan durhaka kepada Allah dan kewajibannya belum gugur. Artinya, zakat fitrinya harus diulangi.

Jika kita bertoleransi terhadap pendapat yang membolehkan pemberian zakat fitri kepada semua golongan yang delapan maka perlu diketahui bahwasanya masjid, yayasan Islam, atau pemuka agama tidaklah termasuk dalam delapan golongan tersebut. Masjid atau yayasan tidak bisa digolongkan sebagai “fi sabilillah”.Demikian pula terkait pemuka agama. Jika dia orang yang berkecukupan maka dia tidak berhak diberi maupun menerima zakat karena zakat ini adalah hak orang fakir miskin. Jika ada pemuka agama atau tokoh masyarakat yang menerima zakat atau bahkan meminta zakat maka berarti dia telah menyita hak orang lain.

Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more https://konsultasisyariah.com/7185-yang-berhak-menerima-zakat-fitrah.html

#Zakat Fitrah

PILPRES 2019 YANG MENENTUKAN


Oleh: DR. MOEFLICH HASBULLAH
(Pakar Sejarah Islam, Dosen UIN Sunan Gunung Djati)

Mengapa pilpres yang hanya soal pergantian presiden dan kita sudah pengalaman menyelenggarakannya beberapa kali tapi sekarang ini demikian panas, tegang, sulit saling mengalah, kecurangan masif berani terang-terangan? Petahana akan menangkap siapa saja yang dianggapnya provokator bahkan sekarang dibuatkan hukum oleh Wiranto untuk menangkap siapa saja yang menghina Jokowi. Sisi lain, oposan akan mengerahkan gerakan rakyat yang disebut people power walaupun sebuah gerakan damai.

Kata "kalah" sekarang ini, nampaknya tidak akan diterima oleh kedua belah pihak. Apakah kekalahan tidak akan diterima hanya oleh kubu 02? Tidak. Kubu 01 juga sama, suasananya tidak akan menerima kekalahan untuk pilpres kali ini.

Bagi kubu 02, pemilu kali ini penuh rekayasa, karena itulah kecurangan struktural dan masif disiapkan sejak awal, catatannya di tim BPN mencapai ribuan, termasuk membangun opini melalui quick count yang diyakini hanya pesanan semata, hanya konstruksi untuk mempengaruhi pikiran dan mental masyarakat agar hasil pemilu bisa diterima dari hasil quick count dan perhitungan KPU.

Bagi kubu 01, pemilu kali tampaknya tidak bisa terima kekalahan karena diyakininya kelompok Islam radikal menyatu pada kubu 02 yang dituduhkannya dgn tuduhan akan merubah NKRI dan Pancasila. Prabowo iya nasionalis tapi dia didompleng oleh elemen Islam radikal dan ini membahayakan kelangsungan NKRI. Itulah pikiran di kubu 01. Maka, bagaimana pun caranya, 02 tidak boleh menang walaupun itu kekuatan rakyat. Padahal kemerdekaan Indonesia pun diraih karena bersatunya para ulama, kekuatan para ulama dan jg keturunan arab yg membakar semangat rakyat utk berjuang merebut hak merdeka.

Kalau soal pemilu biasa yang jurdil dan kondisi negara normal, kubu Jokowi dan kubu Prabowo pasti akan menerima kalah dan menang sebagai hal yang biasa. Tapi mengapa kondisi jadi rumit, panas, tegang dan gawat? Mengapa ada ribuan kecurangan yang dibaca masyarakat dari berita-berita media dan ditonton langsung dari banyak sekali video yang beredar? Mengapa survei dan quick count yang fungsinya membantu menghitung cepat tapi kali ini kontroversial dan tak diterima oleh satu paslon? Berarti ada sesuatu. Itu jawabannya.

Bukankah pada banyak pemilu sebelumnya, kwikkoun tidak jadi masalah? Karena tidak ada nuansa kecurangan apalagi masif. Di pilpres 2019 ini, masalahnya jelas karena pemilunya tidak wajar. Bukankah sepanjang sejarah pemilu Indonesia baru kali ini begitu banyak kecurangan yang disaksikan masyarakat? Mengapa ada korban kematian panitia begitu banyak hingga 550 lebih? Ada apa? Apa artinya? Sekali lagi, artinya ada sesuatu, ada yang tidak wajar, ada misteri yang besar yang sekarang jadi kontroversi. Bukankah mudah saja memahami itu? Diagnosis Ikatan Dokter Indonesia sudah membuktikan mereka bukan mati oleh kelelahan. Kelelahan bukan penyebab langsung kematian. Bila kematian massal itu diautopsi, sebabnya akan terbuka.

Mana mungkin sebuah hasil pemilu akan diterima oleh peserta bila kecurangan begitu banyak? Di negara manapun pasti akan jadi masalah, yang kalah pasti akan protes karena permainan tidak fair, karena pemilu tidak jujur. Ada apa dengan kematian panitia KPPS hingga 500 orang lebih? Apakah ini pemilu yang biasa? Pemilu yg normal dan wajar? Tentu tidak. Semua masyarakat tahu dan merasakan ini pemilu yang tidak biasa, tidak wajar. Kematian massal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi, sekali lagi, ada apa dengan pemilu pilpres 2019?

Mengamati dan merasakan ketidakwajaran Pilpres 2019 sebenarnya bukan soal Jokowi lawan Prabowo, bukan hanya soal pergantian presiden, bukan soal Islam moderat dan Islam radikal, bukan soal Pancasila vs Khilafah, bukan soal nasionalisme religius vs nasionalisme sekuler. Bukan soal rebutan kekuasaan antar anak bangsa. Kalau hanya itu semua, pemilu tidak akan segawat dan segenting ini. Dalam banyak hal masyarakat kita sudah terbiasa dan menerima perbedaan.

Maka, jawabannya tidak lain adalah sesuatu yang lebih besar dari sekedar pemilu. Yang lebih besar dari sekedar pergantian presiden yaitu *masalah kedaulatan negara dan masa depan bangsa.* Hanya, yang satu kubu, 01, seperti tidak perduli, tidak menyadari, karena lebih memandang aspirasi politik kelompoknya. Kubu lain tahu, sangat perduli dan melihat urusan yang lebih besar, yaitu *soal kedaulatan bangsa dan negara yang sedang tergadaikan.* Soal ancaman kepada rakyat yang akan jadi kacung di negerinya sendiri.

Ini era global. Negara-negara besar mencaplok negara-negara lain tidak melalui penjajahan langsung tapi melalui neo-kolonialisme, melalui imperialisme politik yang gejalanya sudah banyak di Indonesia tapi masih juga *sulit diyakinkan kepada sebagian masyarakatnya*.

Samuel Huntington menjelaskan secara rasional dalam bukunya "The Clash of Civilization and Remaking New Order," bahwa negara-negara raksasa dengan ledakan penduduknya yang sudah tak terkendali di negerinya karena sudah lewat batas, pasti akan mencari sumber-sumber alam dan penghidupan dengan membanjiri negara-negara tetangganya dan menganeksisasi secara ekonomi dan politik. Kolonialisme dulu karena kerakusan, sekarang kolonialisme karena mempertahankan hidup dari negara yang terlalu besar.

Penduduk Cina sekrang sudah sekitar 1,4 milyar yang sumber alamnya sudah tak bisa diandalkan. Bagaimana ia harus mempertahankan hidup? Seperti air, dengan meluber keluar, tapi cara cara cina menganeksasi bangsa-bangsa lain itu yg *zholim dan licik*. Dan Cina sudah membuktikan itu dengan jebakan-jebakan utang yang besar yang membuat negara lain tidak berdaya: Tibet sudah jadi negara Cina, Malaysia sudah terlambat untuk bisa lepas dari hegemoni Cina.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengungkapkan, Zimbabwe memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China dan tak mampu membayar sehingga harus mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang sejak 1 Januari 2016. Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang membuat China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria. (Persis sama kejadiannya spt yg tengah terjadi di RI skrg)

Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur dan harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China. Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga.

Kapan Indonesia sadar?

Hutang Indonesia sudah mencapai 5000an Trilyun rupiah dan Indonesia akan kesulitan membayarnya. Satu-satunya cara adalah intervensi Cina harus *diterima* menghegemoni Indonesia dengan dikte-dikte ekonomi dan intervensi politiknya , yang kini semakin kuat. Memuluskan Jalur sutera. Termasuk intervensi faham komunisnya..

*Melalui konglomerasi raksasa, Indonesia harus dibawah kendali mereka. Jokowi dan petahana adalah akses yang bisa diintervensi yang selama menambah terus utangnya hingga titik kritis. Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang sangat berkuasa, sudah menandatangi 23 kontrak proyek dengan Cina untuk memperkuat dan semakin mengunci Indonesia dengan utang.*

Liputan Kompas dan banyak media lain mengkhawatir bahaya jebakan hutang ini dan banyak tokoh mengkritiknya. Tapi *Wiranto* malah menyambutnya dengan membentuk Tim Hukum Nasional yang bernuansa dihidupkannya politik otoriter Orde Baru.yang membabat siapapun yg mencoba mengkritik dan mengancam pemerintah.

Kesadaran ancaman atas kedaulatan negara disikapi berbeda oleh kedua kubu capres dan masing-masing pendukungnya. Petahana menganggapnya bukan masalah karena mungkin sudah akrab tanpa melihat dampak dan akibatnya, kubu oposisi sangat merasakan ini berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan negara.

*Kapan keduanya akan menyadari bersama?* Mungkin kelak kalau bangsa ini, tanpa sadar dan *sudah tidak berdaya, sudah menjadi bagian dari negeri asing.* Kita baru akan menyadari ketika kedaulatan sudah hilang di negeri yang dimerdekakan oleh hasil keringat darah rakyat, para pejuang pahlawan dan para ULAMA dari 350 tahun kolonialisme.

Maka, siapa pemenang pilpres 2019 akan menentukan apakah Indonesia akan menjadi bangsa kacung dan kekayaan negerinya habis milik asing yang sekarang sebagiannya sudah terbukti atau menjadi negara dan bangsa "baru" yang berdaulat sebagai amanat Pancasila dan UUD 1945. Wallahu a'lam.***

Ramadhan ini adalah momen kita semua utk berdoa , dimana doa dimakbulkan,  Allahu ma'ana..

Thursday, 16 May 2019

BACAAN DUDUK IFTIRASY



MACAM MACAM Do’a Duduk Diantara Dua Sujud

Pertanyaan
بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته
Afwan..Saya ingin bertanya. Macam-macam do’a duduk diantara dua sujud yang diajarkan Rasulullah itu apa saja bacaannya ? Dan artinya..
(Evi, Sahabat BiAS T06 G-40)

Jawaban
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Ada beberapa versi doa yang tersebut dalam beberapa riwayat yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya :

1. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاجْبُرْنِي ، وَاهْدِنِي ، وَارْزُقْنِي
“Ya Allah ampunilah aku, sayangilah aku, tutupilah kekuranganku, anugrahkan kepadaku hidayah dan berikanlah rezki kepadaku.” (HR Tirmidzi : 284 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Aslu Sifatish Sholatin Nabi : 807-810).

Dalam sebagian riwayat disebut “Allahumma” diganti dengan “Robbi”.

2. Kemudian lafadz doa di atas diriwayatkan pula dalam jalur yang berbeda-beda dengan lafadz yang beragam, jumlah lafadznya ada tujuh kata, jika dikumpulkan semua lafadznya (ketujuh kata tersebut) menjadi sbb :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاجْبُرْنِي ، وَاهْدِنِي ، وَارْزُقْنِي ، وَعَافِنِي ، وَارْفَعْنِي

“Ya Allah ampunilah aku, sayangilah aku, tutuplah kekuranganku, anugrahkan kepadaku petunjuk, berikanlah padaku rizki, maafkanlah aku dan angkatlah derajatku.” (Lihat keseluruhan riwayat dalam kitab Aslu Sifati Sholatin Nabi : 809-814 karya Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani).

Pengumpulan ketujuh kata ini lebih utama sebagaimana kata Imam An-Nawawi :

فالاحتياط [ يعني : لإصابة السنة ] والاختيار أن يجمع بين الروايات ويأتي بجميع ألفاظها وهى سبعة

“Yang lebih hati-hati (lebih mencocoki sunnah) dan yang lebih dipilihkan adalah mengumpulkan diantara riwayat-riwayat yang ada dan mendatangkan seluruh lafadz-lafadznya yang tujuh.” (Majmu’ Syarah Muhadzdzab : 3/437).

3. Kemudian ada riwayat lain menyebutkan doa minimal dari duduk diantara dua sujud yaitu :

رَبِّ اغْفِرْ لِي ، رَبِّ اغْفِرْ لِي

“Wahai Rabbku ampunilah aku, wahai Rabbku ampunilah aku.” (HR Ibnu Majah : 1/290 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Aslu Sifatis Sholatin Nabi : 811).
Wallahu a’lam


Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati

Referensi: https://bimbinganislam.com/macam-macam-do-a-duduk-diantara-dua-sujud/

Wednesday, 15 May 2019

MASJID AL FITRAH PEMBERITAHUAN JADWAL IMAM DAN PENCERAMAH


*MASJID AL FITRAH SONOPAKIS LOR* 
 _Telp : 089648580896 + 085877945796_

 ```Asalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh``` 

Pemberitahuan dan Pengingat Bahwa hari ini, Imam Maghrib dan *Kajian Jelang Buka Puasa* pada :

 _Hari/Tgl : Sabtu, 18 Mei 2019_
_Tempat : Masjid Al Fitrah Sonopakis_
_Imam & Penceramah :_ 
 *Beliau Bapak KARSAN* 

Demikian Pemberitahuan kami selaku Panitia Ramadhan Masjid Al Fitrah menginformasikan.

 ```Wasslamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh```

https://falahamnan.blogspot.com/2019/05/pemberitahuan-jadwal-isi-penceramah.html?m=1

PEMBERITAHUAN JADWAL ISI PENCERAMAH MASJID AL FITRAH

MASJID AL FITRAH SONOPAKIS LOR
 _Telp : 09648580896 + 085877945796_

 ```Asalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh```

Pemberitahuan dan Pengingat Bahwa hari ini, Imam Isya dan *Tarawih* serta kajian Kultum pada :

 _Hari/Tgl : Rabu, 15 Mei 2019_
_Tempat : Masjid Al Fitrah Sonopakis_
_Imam & Penceramah :_
 *Beliau Bapak Ustadz Ir Wafid Dinarto M.Si*

Demikian Pemberitahuan kami selaku Panitia Ramadhan Masjid Al Fitrah menginformasikan.

 ```Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh```

Saturday, 11 May 2019

RAMBUT NABI SALALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Ingin membuat Status mengenai Rambut Rasulullah.
Tapi takut dosa karena tidak mampu menyusun kata yang baik.

Takut salah dan keliru dalam menulis. Sehingga kekeliruan saya mungkin saja dapat dipermaslahkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wassalam di hari kiamat.

Karena bawa nama Nabi itu tidak sembarang, tidak tanggung tanggung ancamannya memesan kapling Neraka jika kita sedikit ssja berani berdusta, apalagi bawa nama Nabi buat diperuntukkan menyudutkan manusia lain dan menertawakan manusia l.

Namun yang jelas, jika tampak yang haq maka sampaikan yang haq. Bathil ya bathil disampaikan.

Bahwa, sampe dijaman ini peninggalan fisik Nabi salallahu alaihi wasallam sudah tidak ada tersisa. Baik berupa pakaian, surban, pedang, jejak kaki, sandal nabi, dan yang lainnya termasuk rambut. Kesemuanya tidak ada yang terbukti asli bahwa itu adalah Milik Rasulullah.

Karena sekelas Syaikh Fauzan Ulama besar yang terkenal kedalaman ilmu dan keshalihannya telah mengatakan, dan ingin sekali ditunjukkan bukti otentik dan siapa orang yang sanggup memberikan bukti bahwa itu adalah peninggalan dari Nabi salallahu alaihi wasallam. Maka diminta untuk menunjukkannya.

Namun begitu, jika ada berita masalah peninggalan peninggalan nabi. Maka kita diamkan, dan sibukkan diri dengan peninggalan Nabi yang sudah pasti. Yaitu ajaran ajarannya, melalui Al Quran dan Al Hadits yang shahih.

Yang tidak jelas kasliannya seperti peninggalan fisik nabi dan apapun itu, maka tinggalkan.
Dan kita ambil yang sudah pasti, yang mana di 2 sumber perkara hukum Islam Al Quran Al Hadits sudah sangat jelas dan terang.

Jangan sampai kita mengikuti yang samar samar, dan meninggalkan yang jelas jelas telah haq dengan kebenaran.

Seperti halnya kita bisa khusyuk dengan rambut nabi. Menghayati sampai mennagis sejadinya saking mengakunya cinta kepada Nabi.
Namun malah ironis, dengan kita mengerjakan suatu hal yang haram dan dilarang oleh nabi. Dengan bermusik dan bernyanyi.

Thursday, 9 May 2019

DOA BUKA PUASA YANG BENAR

Pertanyaan:

Assalamualaiku, Ustadz

1. Dari Ibnu Abbas, ia berkata : “Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan: Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul ‘Alim.” (artinya: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan atas rezeki dari-Mu kami berbuka. Ya Allah! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). (Riwayat Daruqutni di kitab Sunan-nya, Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa- Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir).

2. Dari Anas, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengucapkan, ‘Bismillah, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rezekika Aftartu.” (artinya: Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rezeki dari-Mu aku berbuka). (Riwayat Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir, Hal. 189 dan Mu’jam Auwshath).

3. Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan: Allahumma Laka Sumtu wa ‘Alaa Rizqika Aftartu.” (Riwayat Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4:239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni)

Apakah ketiga doa berbuka di atas berasal dari hadis dhaif?

Jika dhaif, doa yang berdasarkan hadis yang paling kuat apa?

Dari: Sila

Jawaban:
Wa’alaikumussalam

Doa berbuka yang benar:

ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ

Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu wa Tsabata-l Ajru, Insyaa Allah

“Telah hilang dahaga, urat-urat telah basah, dan telah diraih pahala, insya Allah.”

Hadis Selengkapnya

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ… »

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berbuka, beliau membaca: “Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu…” (HR. Abu Daud 2357, Ad-Daruquthni dalam sunannya 2279, Al-Bazzar dalam Al-Musnad 5395, dan Al-Baihaqi dalam As-Shugra 1390. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani).

Kapan Doa Ini Diucapkan?

Umumnya doa terkait perbuatan tertentu, dibaca sebelum melakukan perbuatan tersebut. Doa makan, dibaca sebelum makan, doa masuk kamar mandi, dibaca sebelum masuk kamar mandi, dst. Nah, apakah ketentuan ini juga berlaku untuk doa di atas?

Dilihat dari arti doa di atas, dzahir menunjukkan bahwa doa ini dibaca setelah orang yang berpuasa itu berbuka. Syiakh Ibnu Utsaimin menegaskan:

لكن ورد دعاء عن النبي صلى الله عليه وسلم لو صح فإنه يكون بعد الإفطار وهو : ” ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله ”  فهذا لا يكون إلا بعد الفطر

“Hanya saja, terdapat doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika doa ini shahih, bahwa doa ini dibaca setelah berbuka. Yaitu doa: Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu…dst. doa ini tidak dibaca kecuali setelah selesai berbuka.” (Al-Liqa As-Syahri, no. 8, dinukil dari Islamqa.com)

Keterangan yang sama juga disampaikan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 7428.

Karena itu, urutan yang tepat untuk doa ketika berbuka adalah:

1. Membaca basmalah sebelum makan kurma atau minum (berbuka).

2. Mulai berbuka

3. Membaca doa berbuka: Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu…dst.

Anjuran Memperbanyak Doa Ketika Berbuka Puasa

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ السَّحَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai dia berbuka, dan doa orang yang didzalimi, Allah angkat di atas awan pada hari kiamat.”

(HR. At-Tirmidzi 2526, Thabrani dalam Al-Ausath 7111. Syaikh Aqil bin Muhamad Al-Maqthiri mengatakan: Hadis ini statusnya hasan berdasarkan gabungan semua jalurnya. Hadis ini juga dinilai hasan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habir, 2:96).

Hadis di atas menunjukkan anjuran bagi orang yang sedang puasa untuk memperbanyak berdoa sebelum dia berbuka. Sebagian ulama menegaskan bahwa hadis ini tidak ada hubungannya dengan berdoa ketika berbuka. Karena teks hadis ini bersifat umum, bahwa orang yang sedang berpuasa memiliki pelluang dikabulkan doanya di setiap waktu dan setiap kesempatan, sebelum dia berbuka. (I’lamul Anam bi Ahkam As-Shiyam, Hal. 76).

Akan tetapi disebutkan dalam sunan Tirmidzi, redaksi yang serupa dinyatakan:

وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ

Orang yang berpuasa ketika berbuka.” (Sunan At-Tirmidzi 2526).

Makna tersirat dari hadis menunjukkan bahwa anjuran memperbanyak doa itu terakait dengan kegiatan berbuka. Allahu a’lam.

Keterangan ini juga dikuatkan dengan riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن للصائم عند فطره لدعوة ما ترد

Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak akan ditolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, Ibnu Sunni 128, dan At-Thayalisi 299 dari dua jalur. Al-Bushiri mengatakan (2/81): ‘Sanad hadis ini shahih, perawinya tsiqqah’. Demikian keterangan dari Shifat Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hal. 67 – 68).

Kemudian, doa-doa kebaikan ini selayaknya dibaca sebelum memulai berbuka. Karena ketika belum berbuka, seseorang masih dalam kondisi puasa, dan bahkan di puncak puasa, sehingga dia lebih dekat dengan Allah Ta’ala. Sementara ketika dia (Dari Fatwa Islam, no. 14103).

Doa Apa yang Bisa Dibaca Ketika Hendak Berbuka?

Anda bisa membaca doa apapun yang Anda inginkan. Baik terkait kehidupan dunia maupun akhirat. Karena waktu menjelang berbuka adalah waktu yang mustajab.

Kemudian, disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, bahwa ketika berbuka, sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu, membaca doa tertentu.

Dari Ibnu Abi Mulaikah (salah seorang tabiin), beliau menceritakan: Aku mendengar Abdullah bin Amr ketika berbuka membaca doa:

اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Allahumma Inni As-Aluka bi Rahmatika Al-Latii Wasi’at Kulla Syai-in An Taghfira Lii

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuniku.” (Sunan Ibnu Majah, 1/557 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3621)

Doa Berbuka yang Tidak Benar

Terdapat satu doa berbuka yang tersebar di masyarakat, namun doa bersumber dari hadis yang lemah. Kita sering mendengar beberapa masyarakat membaca doa berbuka berikut:

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rezekika afthortu

“Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka.”

Status Sanad Hadis

Doa dengan redaksi ini diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya no. 2358 secara mursal (tidak ada perawi sahabat di atas tabi’in), dari Mu’adz bin Zuhrah. Sementara Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in, sehingga hadis ini mursal. Dalam ilmu hadis, hadis mursal merupakan hadis dhaif karena sanad yang terputus.

Doa di atas dinilai dhaif oleh Al-Albani, sebagaimana keterangan beliau di Dhaif Sunan Abu Daud 510 dan Irwaul Gholil, 4:38.

Hadis semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath-Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dhaif yaitu Daud bin Az-Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk. Al-Hafidz ibnu Hajar mengatakan:

وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ فِيهِ دَاوُد بْنُ الزِّبْرِقَانِ ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ

“Sanad hadis ini dhaif, karena di sana ada Daud bin Az-Zibriqon, dan dia perawi matruk.” (At-Talkhis Al-Habir, 3:54).

Ada juga yang ditambahi dengan lafadz:

بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang paling welas asih

Namun sekali lagi, tambahan ini juga tidak memiliki dasar dalam syariat. Karena itu, sebaiknya tidak dilantunkan sebagai doa berbuka.

Ringkasnya, bahwa doa terkait bebuka ada dua:

a. Doa menjelang berbuka. Doa ini dibaca sebelum anda mulai berbuka. Doa ini bebas, anda bisa membaca doa apapun, untuk kebaikan dunia dan akhirat Anda.

b. Doa setelah berbuka. Ada doa khusus yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat dari Ibnu Umar. Lafadz doanya adalah

ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ

Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu wa Tsabata-l Ajru, Insyaa Allah

Sebagai muslim yang baik, selayaknya kita cukupkan doa setelah berbuka dengan doa yang shahih ini, dan tidak memberi tambahan dengan redaksi yang lain.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/12680-doa-sahih-berbuka-puasa.html

BERAPA JUMLAH SHALAT TARAWIH

Bolehnya Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at

 Admin  0 May 9, 2019 4:09 pm

Bolehnya Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at


(Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc, MA.)

Ijma’ Boleh Lebih 11 Rakaat

Para ulama telah ijmak (sepakat) akan bolehnya sholat malam (tarawih) lebih dari 11 raka’at. Bahkan yang menukil ijmak tersebut para ulama dari berbagai madzhab fikih. Berikut ini nukilan tersebut:

1. Madzhab Maliki:

Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) berkata:

وأكثر الآثار على أن صلاته كانت إحدى عشرة ركعة وقد روي ثلاث عشرة ركعة. واحتج العلماء على أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود والصلاة خير موضوع فمن شاء استقل ومن شاء استكثر.

“Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau adalah 11 rakaat, dan diriwayatkan bahwa 13 rakaat, para ulama berdalil bahwa shalat lail tidak ada batasnya, dan shalat adalah ibadah terbaik, siapa yang berkehendak silahkan menyedikitkan rakaát, dan siapa yang berkehendak maka silahkan memperbanyak rakaát”. (1)

Beliau juga berkata:

وقد أجمع العلماء على أن لا حد ولا شيء مقدرا في صلاة الليل وأنها نافلة فمن شاء أطال فيها القيام وقلت ركعاته ومن شاء أكثر الركوع والسجود

Para ulama sepakat tidak ada batas atau ukuran dalam shalat lail (malam), mereka juga sepakat bahwa shalat lail sunnah, siapun mau boleh memanjangkan berdiri dan sedikit jumlah rakaatnya, dan siapapun mau boleh memperbanyak ruku’ dan sujud”. (2)

Beliau juga berkata:

وَلَيْسَ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ حَدٌّ مَحْدُودٌ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَتَعَدَّى

“Tidak ada batas tertentu dalam jumlah rakaat dalam shalat lail yang tidak boleh dilewati menurut satupun ulama”. (3)

Al-Qadhi Iyadh mengatakan:

ولاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدٌّ لاَ يُزَادُ عَلَيْهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُ، وَأَنَّ صَلاَةَ اللَّيْلِ مِنَ الْفَضَائِلِ وَالرَّغَائِبِ الَّتِي كُلَّمَا زِيْدَ فِيْهَا زِيْدَ فِي الأَجْرِ وَالْفَضْلِ، وَإِنَّمَا الْخِلاَفُ فِي فِعْلِ النَّبِيِّ (صلى الله عليه وسلم) وَمَا اخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ

Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batas yang tidak boleh ditambahi dan dikurangi, dan shalat lail termasuk amalan utama dan dianjurkan, jika ditambahi maka bertambah pula pahala dan keutamaanya, yang diperselisihkan hanya dalam perbuatan Nabi dan jumlah rakaat yang beliau pilih untuk beliau lakukan”. (4)

2. Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyebutkan bahwa yang menjadi pilihan jumhur ulama adalah shalat tarawih 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ketika mengumpulkan orang-orang, beliau juga berkata: “Para sahabat bersepakat dalam hal itu di masa mereka”. (5)

Ishaq bin Mansur bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Berapa rakaat shalat qiyam bulan Ramadhan? Beliau berkata: Ada beberapa pendapat, diriwayatkan sekitar 40, tetapi itu adalah shalat tathawwu’. (6)

3. Madzhab Syafi’i

Abul Qasim Ar-Rafi’i: “Sesungguhnya Umar bin Khatthab mengumpulkan orang-orang diimami oleh Ubai bin Ka’ab, dan disepakati oleh para sahabat”. (7)

An-Nawawi menukil ijma’ ini dan mengikrarkannya (8)

Az-Za’farani meriwayatkan dari As-Syafi’I: “Aku lihat orang-orang di Madinah mengerjakan shalat 39 rakaat”, beliau berkata “Yang lebih aku suka adalah 20”, beliau berkata “Begitupula yang dikerjakan di Makkah”. Beliau berkata: “Tidak ada dalam hal ini batas akhirnya, jika mereka perbanyak ruku’ dan sujud maka lebih baik”. (9)

Al-Iraqi mengatakan:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ مَحْصُورٌ وَلَكِنْ اخْتَلَفَتْ الرِّوَايَاتُ فِيمَا كَانَ يَفْعَلُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Para ulama sepakat bahwa tidak ada batas tertentu dalam qiyamul-lail, akan tetapi riwayat-riwayat berbeda tentang mana yang dilakukan oleh Nabi”. (10)

4. Ulama Hadits

Ibnu Al-Qatthan Al-Fasi juga menukil ijma’ tersebut dalam kitabnya “Al-Iqna’ fi Masa’il Ijma’”.

At-Tirmidzi dalam Jami’-nya berkata:

“Para ulama berselisih pendapat dalam qiyam Ramadhan: Sebagian berpendapat 41 rakaat bersama witir, ini adalah pendapat ahlul Madinah, dan yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Kebanyakan ulama adalah mengikuti riwayat Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Rasulullah berpendapat 20 rakaat, ini adalah pendapat At-Tsauri, Ibnu Al-Mubarak dan As-Syafi’i.

As-Syafi’i berkata: Demikianlah yang aku jumpai di kota kami Makkah, mereka shalat 20 rakaat.

Ahmad mengatakan: Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dan tidak ada titik penentu.

Ishaq berkata: Tapi kita pilih 41 rakaat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab.”

Kesimpulan:

Di atas adalah pernyataan sejumlah ulama dari berbagai madzhab yang menukilkan ijma’ (konsensus) ulama bahwa tidak ada batas jumlah shalat lail yang di antaranya adalah shalat tarawih, tidak ada seorangpun ulama setelah mereka yang mempermasalahkan hal itu. Lihatlah dalam buku fikih manapun dan dalam madzhab manapun tidak ditemukan seorang ulamapun yang menyatakan tidak boleh sholat malam lebih dari 11 rakaát. Jika ada ulama yang mu’tabar (yang diakui) yang melarang dari kalangan para ulama terdahulu, tentu sudah dinukil dalam kitab-kitab fikih klasik (11).

Adapun hadits Aisyah (yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama kontemporer bahwa sholat malam tidak boleh lebih dari 11 rakaat) :

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.

Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah ‘Berapa shalat Rasulullah pada bulan Ramadhan?’ ia menjawab: ‘Beliau tidak menambah sebelas rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lain, beliau shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat tiga rakaat, lalu aku bertanya : wahai Rasulullah apakah engkau tidur sebelum melakukan witir? Beliau menjawab: wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak tidur’. (12)

Maka hadits di atas menjelaskan bahwa sholat malam Nabi tidak lebih dari 11 raka’at. Tetapi tidak seorang salafpun yang memahami bahwa maksud Aisyah itu adalah batasan jumlah sholat malam, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah.

Sementara tatkala kita memahami hadits atau memahami syari’at Islam harus dengan pemahaman para salaf, sebagai konsenkuensi dari bentuk berpegang dengan manhaj salaf dalam beristidlal (berdalil).

Dalil-Dalil bahwa Shalat Tarawih Tidak Ada Batas Rakaat

Pertama: Hadits Ibnu Umar

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ –صلى الله عليه وسلم– وَأَنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّائِلِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلاَةُ اللَّيْلِ قَالَ «مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَصَلِّ رَكْعَةً وَاجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِكَ وِتْرًا». ثُمَّ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ وَأَنَا بِذَلِكَ الْمَكَانِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– فَلاَ أَدْرِى هُوَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ.

Seorang bertanya kepada Nabi, ia mengakatan: saat itu aku berada di antara beliau dan penanya. Penyanya mengatakan: Wahai Rasulullah, bagaimana mengerjakan shalat lail? Beliau menjawab: Dua rakaat, dua rakaat, jika kamu khawatir masuk subuh maka shalatlah satu rakaat, dan jadikan akhir shalatmu witir. Kemudian ada lelaki berusia hampir satu abad, dan aku di tempat itu bersama Rasulullah, aku tidak tahu apakah itu orang tadi atau orang lain, ia mengatakan semacam itu pula(13).

Dalam riwayat yang lain (juga dalam shahih Muslim):

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ رَجُلاً نَادَى رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أُوتِرُ صَلاَةَ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– «مَنْ صَلَّى فَلْيُصَلِّ مَثْنَى مَثْنَى فَإِنْ أَحَسَّ أَنْ يُصْبِحَ سَجَدَ سَجْدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى».

Seorang memanggil Rasulullah sedangkan beliau berada di masjid, lantas bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana aku melakukan witir pada shalat lail? Rasulullah menjawab : Siapapun yang shalat, hendaklah shalat dua rakaat dua rakaat, jika merasa datang subuh maka hendaklah melakukan satu sujud, makai a telah melukan shalat witir.

Dalam riwayat yang lain :

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda: Shalat lail dua-dua, jika kamu melihat subuh akan tiba maka wtirlah satu rakaat. Lalu ada yang bertnya kepada Ibnu Umar: apa itu dua-dua? Beliau menjawab: hendaklah engkau salam di setiap dua rakaat. (diriwayatkan muslim juga di tempat yang sama).

Segi pendalilan:

Ada dua sisi pendalilan dari hadits Ibnu Umar di atas:

Pertama: Orang yang bertanya tersebut dalam sebagian riwayat adalah الأَعْرَابِيُّ arab badui(14). Dan sebagaimana diketahui bahwa orang arab badui tidaklah tinggal bertetangga dengan Nabi dan para sahabat. Tentu ia tidak tahu tentang jumlah raka’at sholat malam Nabi, terlebih lagi tidak ada seorang sahabatpun yang meriwayatkan tentang jumlah 11 rakaat sholat malam Nabi kecuali Aisyah, karena Nabi mengerjakannya di rumah dan dilihat oleh Aisyah.

Hal ini dikuatkan lagi bahwasanya jika Arab badui tersebut tidak tahu tentang kaifiyyah (tata cara) sholat malam, setiap berapa rakaatkah harus salam? Maka ketidak tahuannya tentang jumlah rakaat lebih utama untuk tidak ia ketahui.

Jika seandainya sholat malam ada batasan jumlah raka’atnya tentu Nabi akan menjelaskan kepada orang arab badui tersebut. Tatkala Nabi tidak menjelaskan sisi ini maka menunjukan bahwa sholat malam tidak terikat dengan jumlah tertentu, karena mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.

Kedua: Justru Nabi menjawab orang arab badui tersebut dengan mengisyaratkan bahwa sholat malam tidak terbatas jumlah raka’atnya. Karena Nabi menyatakan bahwa sholat malam itu dua-dua rakaat hingga subuh. Artinya arab badui tersebut boleh sholat dengan shalat dua rakaat-dua rakaat dan terus melakukannya seperti itu, sampai jika ia khawatir tiba subuh maka shalat satu rakaat dan menjadi witir bagi shalatnya. Apalagi orang-orang arab badui tidak dikenal dengan sebagai para sahabat yang memiliki hapalan qur’an yang banyak, sehingga kemungkinan ia akan memperbanyak raka’at hingga subuh.

Kedua: Hadits Thalq bin Ali

عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– يَقُولُ «لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ».

Qais bin Thalq berkata: Thalq bin Ali mengunjungi kami pada satu hari Bulan Ramadhan dan sore masih bersama kami lalu berbuka dan mengimami shalat kita pada malam itu, beliau witir bersama kami kemudian pergi ke masjidnya dan shalat mengimami para sahabatnya, ketika hendak witir beliau menyuruh seorang maju dengan berkata: shalatlah witir bersama para sahabatmu karena aku mendengar Rasulullah bersabda “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. (15)

Segi pendalilan:

Sahabat Tholq bin Áli dahulu melakukan shalat malam dua kali, yang pertama di tempat ini dan yang kedua di tempat lain. Dan tentu jika digabungkan dua kali sholat tarawih beliau tersebut akan lebih dari 11 raka’at, wallahu A’lam.

Ketiga: Hadits Abu Dzar

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ».

Abu Dzar berkata: Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah, beliau tidak melakukan qiyam ramadhan pun kecuali tersisa 7 hari, beliau pun mengimami shalat kami hingga lewat sepertiga malam, lalu ketika tersisa 6 hari, beliau tidak shalat bersama kami, dan ketika tersisa 5 hari beliau shalat mengimami kami hingga lewat setengah malam, lalu aku bertanya: wahai Rasulullah, sekiranya engkau tambahi shalat lagi sisa malam ini (16), maka beliau mengatakan “Sesungguhnya jika seorang shalat bersama imam sampai selesai maka dihitung shalat semalam”. (17)

Segi pendalilan:

Ketika sudah lewat tengah malam, Rasulullah selesai shalatnya, tapi para sahabat meminta Rasulullah tambahan shalat lagi, dan beliau tidak mengingkari atau menyalahkan mereka, namun beliau menunjukkan yang afdhal. Para sahabat juga tidak memahami bahwa shalat malam ada batas tertentu dan mereka juga tidak memahami jika shalat selesai maka tidak boleh ditambah. Karena jika mereka memahami bahwa sholat malam tidak boleh ada tambahannya tentu mereka tidak akan minta tambahan kepada Nabi, karena berarti meminta sesuatu yang haram kepada Nabi.

Keempat: Hadits ‘Amr bin ‘Anbasah

عن عَمرو بن عَنْبَسة ــ رضي الله عنه ــ أنَّه قال: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَسْلَمَ مَعَكَ؟ قَالَ: «حُرٌّ وَعَبْدٌ»، قُلْتُ: هَلْ مِنْ سَاعَةٍ أَقْرَبُ إِلَى اللَّهِ ــ عَزَّ وَجَلَّ ــ مِنْ أُخْرَى؟ قَالَ: “نَعَمْ، جَوْفُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، فَصَلِّ مَا بَدَا لَكَ حَتَّى تُصَلِّيَ الصُّبْحَ“.

“Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah yang masuk islam bersama engkau? Beliau menjawab: orang merdeka dan budak. Aku bertanya: Apakah ada waktu yang lebih dekat kepada Allah Azza wa Jalla daripada selainnya? Beliau menjawab: Ya, pertengahan malam akhir, maka shalatlah yang kamu mau sampai kamu shalat subuh”. (18)

Muhammad Ali Adam Al-Ityubi mengomentari hadits ini, “Shalat malam tidak memiliki jumlah tertentu, berbeda dengan persangkaan sebagian orang bahwa lebih dari 11 rakaat yang terdapat pada shalat Rasulullah adalah bid’ah, sehingga mengingkari orang yang shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat atau kurang atau lebih sesuai semangat orang yang shalat, maka dapat dibantah dengan hadits ini.” (19)

Tarwih para shahabat di masa Umar bin al-Khottob adalah 20 rakaát.

Berikut ini adalah pohon seluruh riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang jumlah rakaát tarwih yang dikerjakan di masa Úmar bin al-Khottob atas perintah Umar bin al-Khottob. :

Jika diperhatikan pohon sanad periwayatan tentang jumlah rakaát tarawih yang dikerjakan di masa Umar bin al-Khottob sebagaimana di atas, maka kita dapati yang menyebutkan bahwa Umar memerintahkan untuk sholat 11 rakaát hanyalah 1 jalur saja, yaitu Dari Imam Malik, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid, dari Umar bin al-Khottob. (Sebagaimana di kitab al-Muwattho’ karya Imam Malik)

Sementara seluruh jalur yang lain meriwayatkan bahwa sholat yang dikerjakan atas perintah Umar bin al-Khottob lebih dari 11 rakaat, yaitu 20 rakaát. Karenanya Ibnu Ábdil Barr yang bermadzhab Maliki, dan paling paham tentang periwayatan Imam Malik, berkata :

وَهَذَا كُلُّهُ يَشْهَدُ بِأَنَّ الرِّوَايَةَ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَهْمٌ وَغَلَطٌ وَأَنَّ الصَّحِيْحَ ثَلاَثٌ وَعِشْرُوْنَ وَإِحْدَى وَعِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَاللهُ أَعْلَمُ

Ini semua menunjukkan bahwa riwayat 11 rakaat adalah kesalahan dan kekeliruan, yang shahih adalah 23 dan 21 rakaat, wallahu a’lam”. (20)

Lafadz riwayat 11 Rakaat:

Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwattha’:

عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد رضي الله عنه أنَّه قال: أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ رضي الله عنهم أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ: وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ، حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْر

“Dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid beliau mengatakan: Umar bin Khaththab memerintahkan Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang dengan 11 rakaat, saat itu imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidak bubaran (selesai sholat) kecuali mendekati terbit fajar”. (21)

Ibnu Abdil Barr berkata:

هَكَذَا قَالَ مَالِكٌ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَغَيْرُهُ يَقُوْلُ فِيْهِ إِحْدَى وَعِشْرِيْن

“Begitulah yang dikatakan Malik dalam hadits ini, yaitu 11 rakaat, sedangkan selain beliau mengatakan 21 rakaat”. (22)

Di kitab yang sama beliau juga berkata:

وَلاَ أَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً غَيْرُ مَالِكٍ والله أعلم. إلا أنه يحتمل أن يكون القيام في أول ما عمل به عمر بإحدى عشرة ركعة ثم خفف عليهم طول القيام ونقلهم إلى إحدى وعشرين ركعة يخففون فيها القراءة ويزيدون في الركوع والسجود إِلاَّ أَنَّ الأَغْلَبَ عِنْدِي فِي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً الْوَهْمُ وَاللهُ أَعْلَمُ

“aku tidak tahu seorangpun mengatakan dalam hadits ini 11 rakaat kecuali Malik, wallahu a’lam. Hanya saja ada kemungkinan bahwa shalat yang dilakukan Umar pertama kali adalah 11 rakaat, kemudian beliau ringankan panjangnya berdiri dan diganti menjadi 21 rakaat dengan meringankan bacaan dan menambah ruku’ dan sujud. Akan tetapi yang lebih kuat menurutku adalah bahwa 11 rakaat adalah kekeliruanwallahu a’lam.(23)

Lafadz dari jalur Yazid bin Khushaifah:

عن يزيد بن خُصَيْفَة عن السائب بن يزيد رضي الله عنه قال: يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَلَكِنْ كَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ فِي رَكْعَةٍ حَتَّى كَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ

Dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid mengatakan : mereka mengerjakan shalat di masa Umar bin Khatthab pada bulan Ramadhan 20 rakaat, akan tetapi mereka membaca ratusan ayat dalam satu rakaat, sehingga mereka bersandar pada tongkat-tongkat mereka karena lamanya berdiri. (24)

Sanadnya dishahihkan oleh:

Imam Nawawi dalam Al-Khulashah no 1961


Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir 4/350


Ibnul Iraqi dalam Tharh Tatsrib 3/97


Al-‘Aini dalam Al-Binayah Syarh Al-Hidayah 2/660


Syaikh Abdullah Ad-Duwaisy dalam Tanbih Al-Qari’ li Taqwiyati Ma Dha’afahul Albani hlm. 42 mengatakan: Hadits ini shahih.


Penulis belum mendapatkan ulama mutaqodiimin (terdauhulu) mendoifkan riwayat Umar tentang sholat 20 rakaat di atas karena riwayatnya(25)

Para salaf (sahabat dan tabiín) sholat tarwih lebih dari 11 rakaát

Pendapat bahwa para sahabat sholat tarwih di masa Umar adalah 20 rakaat dikuatkan dengan praktik para salaf yang sholat malam lebih dari 11 rakát. Berikut penukilannya :

Atha’ berkata:


أَدْرَكْت النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ

“Aku menjumpai orang-orang shalat 23 rakaat dengan witir”. (26)

Atha adalah seorang tabi’in faqih yang wafat pada tahun 114 H, sehingga yang beliau jumpai adalah para sahabat Rasulullah, wallahu a’lam

Dawud bin Qais berkata:


دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ : أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتَّة وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.

“Aku jumpai di Madinah pada masa Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Utsman shalat 36 rakaat dan witir 3 rakaat.” (27)

Atsar ini menjelaskan bahwa para tabiín mereka sholat bahkan 39 rakaát

Sa’id bin Jubair:


كَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ يَؤُمُّنَا فِي رَمَضَانَ فَيُصَلِّي بِنَا عِشْرِينَ لَيْلَةً سِتَّ تَرْوِيحَاتٍ، فَإِذَا كَانَ الْعَشْرُ الأَخَرُ اعْتَكَفَ فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى بِنَا سَبْعَ تَرْوِيحَاتٍ.

“Dahulu Sa’id bin Jubair adalah imam kita di bulan Ramadhan, beliau shalat mengimami kita 20 malam dengan 6 kali istirahat, jika memasuki 10 malam akhir beliau I’tikaf di masjid dan shalat mengimami kita dengan 7 kali istirahat.” (28)

Dan Saíd bin Jubair adalah seorang tabií yang mulia yang merupakan murid Ibnu Ábbas

Sa’id bin Jubair adalah seorang tabi’in wafat tahun 95 H, ketika 10 hari terakhir beliau shalat menjadi imam dengan 7 kali istirahat berarti 14 rakaat.

Abu Al-Hashib berkata:


كَانَ يَؤُمُّنَا سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ فِي رَمَضَانَ فَيُصَلِّي خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً

“Dahulu Suwaid bin Ghafalah mengimami shalat kita pada bulan Ramadhan dengan 5 kali istirahat dalam 20 rakaat”. (29)

Suwaid bin Ghafalah masuk Islam saat Nabi masih hidup, akan tetapi beliau tidak bertemu dengan Nabi, dan beliau meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ubay bin Kaáb, Bilal, Abu Dzar, Ibnu Masúd, dan sahabat-sahabat yang lain(30).

Beliau shalat 20 rakaat, setiap 4 rakaat salam, sehingga ada 5 kali istirahat.

Imam bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir menyebutkan riwayat Abu Al-Hasib Al-Ju’fi:

كَانَ سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ يَؤُمُّنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً

“Dahulu Suwaid bin Ghafalah mengimami kita pada bulan Ramadhan 20 rakaat”. (31)

Ibnu Abi Mulaikah


عن نافع بن عمر، قال: كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَيَقْرَأُ: بِحَمْدِ الْمَلَائِكَةِ فِي رَكْعَةٍ

Nafi’ bin Umar berkata: Dahulu Ibnu Abi Mulaikah shalat mengimami kami 20 rakaat, beliau membaca Hamdu Al-Malaikat (Surat Fathir) dalam satu rakaat. (32)

Ibnu Abi Mulaikah adalah seorang tabií yang lahir di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib atau sebelumnya. Beliau telah menjumpai 30 sahabat(33).

Atsar-atsar para tabiín ini menunjukan bahwa pelaksanaan shalat tarwih di masa tabiín berlanjut dengan lebih dari 11 rakaát. Dan kemungkinan besar bahwa kebiasaan para tabiín tersebut diwariskan dari kebiasaan para sahabat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Sesungguhnya qiyam Ramadhan sendiri tidak ditetapkan oleh Nabi dengan jumlah tertentu, bahkan beliau dalam Ramadhan maupun bulan lain tidak lebih dari 13 rakaat, akan tetapi beliau memanjangkan rakaat, ketika Umar mengumpulkan orang-orang untuk shalat diimami oleh Ubai bin Ka’ab shalat bersama mereka 20 rakaat kemudian witir 3 rakaat, pada saat itu beliau meringankan bacaan sesuai dengan tambahan rakaat, karena itu yang paling ringan bagi para makmum daripada memanjangkan satu rakaat.

Kemudian sekelompok salaf mengerjakan shalat 40 rakaat dan witir 3 rakaat, dan sekelompok salaf yang lain mengerjakan shalat 36 rakaat dan witir 3 rakaat, dan ini semua diperbolehkan. Bagaimanapun cara yang dilakukan pada bulan Ramadhan dri tata cara tersebut maka ia telah melakukan hal yang baik.

Dan yang paling utama adalah hal itu berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi jamaah yang shalat; jika mereka mampu tahan berdiri lama maka mengerjakan 10 rakaat dan tiga rakaat setelahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika shalat sendiri di bulan Ramadhan dan bulan lain maka ini lebiih baik, namun jika mereka tidak mampu maka mengerjakan 20 rakaat lebih utama, inilah yang dikerjakan kebanyakan kaum muslimin; harena terletak pertengahan antara 10 dan 40 rakaat, dan jika mengerjakan 40 rakaat maka boleh dan sama sekali tidak dibenci. Ini telah disebutkan sejumlah imam, seperti Ahmad dan lainnya.

وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ

Siapa mengira qiyam Ramadhan ada bilangan tertentu dari Nabi yang tidak boleh ditambah dan dikurangi maka ia terjatuh dalam kesalahan”. (34)

As-Syaukani mengatakan :

والحاصل أن الذي دلت عليه أحاديث الباب وما يشابهها هو مشروعية القيام في رمضان والصلاة فيه جماعة وفرادى فقصر الصلاة المسماة بالتراويح على عدد معين وتخصيصها بقراءة مخصوصة لم يرد به سنة

“Kesimpulannya, hadits-hadits dalam bab ini dan hadits yang serupa menunjukkan disyariatkannya qiyam ramadhan, shalat baik dengan jamaah maupun sendiri-sendiri. Adapun membatasi shalat yang dinamai dengan tarawih dengan jumlah tertentu dan mengkhususkan dengan bacaan tertentu maka tidak ada sunnah yang menunjukkah hal itu”. (35)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة، والشافعي، وأحمد: عشرين ركعة أو: كمذهب مالك ستا وثلاثين، أو ثلاث عشرة، أو إحدى عشرة فقد أحسن، كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره

Shalat tarawih jika dikerjakan sesuai madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad adalah 20 rakaat, atau sesuai madzhab Malik 36 rakaat, atau 13, atau 11 maka itu baik, seperti dikatakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada penentuan batas akhir, sehingga memperbanyak jumlah rakaat dan mempersedikit dilakukan tergantung panjang atau pendeknya berdiri. (36)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

وأُبَىٌّ بن كعب لما قام بهم وهم جماعة واحدة لم يمكن أن يطيل بهم القيام، فكثر الركعات ليكون ذلك عوضا عن طول القيام، وجعلوا ذلك ضعف عدد ركعاته، فإنه كان يقوم بالليل إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة، ثم بعد ذلك كأن الناس بالمدينة ضعفوا عن طول القيام، فكثروا الركعات، حتى بلغت تسعا وثلاثين

Ubai bin Ka’ab tatkala mengimami mereka yang saat itu mereka satu jamaah, tidak memungkinkan untuk memperlama berdiri, maka beliau perbanyak rakaat sebagai ganti berdiri lama, dan mereka menjadikannya dua kali lipat jumlah rakaat, karena sebelum itu ia melakukan qiyamulllail 11 atau 13 rakaat, kemudian setelah itu sepertinya orang-orang penghuni Kota Madinah tidak mampu berdiri lama, maka mereka perbanyak rakaat, hingga sampai 39 rakaat. (37)

Kesimpulan :

Pertama : Telah terjadi Ijma’ (kesepakatan) ulama akan bolehnya shalat lebih dari 11 rakaát

Kedua : Tidak seorang ulamapun yang mu’tabar dari kalangan mutaqoddimin (terdahulu) yang melarang shalat tarawih lebih dari 11 rakaát, apalagi sampai mengatakan bidáh. Yang ada hanyalah ulama belakangan seperti As-Shonáni yang wafat tahun 1182 H

Ketiga : Atsar bahwa para sahabat sholat tarawih di masa Umar 20 rakaát adalah atsar yang shahih, dan tidak diketahui ada seorang ulamapun dari mutaqoddimin yang mendoifkan atsar ini.

Keempat : Para salaf di zaman para tabiín (seperti Áthoo, Saíd bin Jubair, Suwaid bin Ghofalah, Ibnu Abi Mulaikah, dan Daud bin Qois) mereka semuanya sholat tarawih lebih dari 11 rakaát.

Kelima : Hendaknya kita memahami hadits Aisyah tentang sholat malam Nabi 11 rakaát dengan pemahaman para salaf, yaitu bahwa bilangan tersebut bukanlah batasan.

Kamis 4 Ramadhan 1440 H (9 Mei 2019 M)

Di Kediaman, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur.

Footnote:

1 Al-Istidzkar 2/98

2 Al-Istidzkar 2/102-103

3 At-Tamhid 13/214

4 Ikmalul Mu’lim Syarh Shahih Muslim 3/48

5 At-Mughni 2/123

6 Masail Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih 2/755

7 As-Syarhu Al-Kabir 4/267

8 Lihat Syarh Shahih Muslim 6/19

9 Mukhtashar Qiyamul Lail hlm. 222

10 Tharh At-Tatsrib fi Syarh Taqrib 3/50

11 Adapun tiga ulama (Imam Malik, Ibnul ‘Arobi, dan As-Shonáani) yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani bahwa mereka melarang sholat lebih dari 11 rakaát, maka penukilan tersebut kurang tepat.

Pertama : Al-Imam Malik yang masyhur di madzhab Malik justru menganjurkan lebih dari 11 rakaát. Adapun nukilan Syaikh Al-Albani dari Imam Malik melalui jalur seorang ulama syafiíyah yang bernama al-Juuri, maka beliau (Syaikh Al-Albani) juga tidak bisa memastikan siapakah al-Juuri tersebut, karena banyak ulama yang bernisbahkan kepada al-Juuri. Setelah itu harus diketahui terlebih dahulu bagaimanakah kedudukan al-Juuri dikalangan para ulama. Demikian juga jika tentu penukilan tentang pendapat Imam Malik dari kitab-kitab ulama Malikiyah lebih kuat daripada yang dinukil dari seorang ulama bermadzhab syafií.

Kedua : Ibnul Árobi, justru beliau menyatakan dengan tegas bahwa sholat malam tidak ada batasan jumlah rakaatnya. Beliau berkata :

وَلَيْسَ فِي قَدْرِ رَكْعَتِهَا حَدٌّ مَحْدُوْدٌ

“Dan tidak ada batasan tertentu pada jumlah rakaát sholat malam” (Áaridhotul Ahwadzi 4/19)
Adapun pernyataan Ibnul Árobi yang dinukil oleh Asy-Syaikh al-Albani maka maksudnya jika memang sholat malam itu ada batasannya maka ikutlah yang dilakukan oleh Nabi yaitu 11 rakaát. Akan tetapi telah jelas bahwa sebelumnya -di halaman yang sama- Ibnul Árobi telah menegaskan bahwa sholat malam tidak ada batasan jumlah rakaátnya.

Ketiga : As-Shonáani, maka memang jelas beliau memandang bahwa “menganggap jumlah 20 rakaat sebagai sunnah” itulah yang bidáh. As-Shonáni berkata :

نَعَمْ قِيَامُ رَمَضَانَ سُنَّةٌ بِلَا خِلَافٍ، وَالْجَمَاعَةُ فِي نَافِلَتِهِ لَا تُنْكَرُ وَقَدْ ائْتَمَّ ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَغَيْرُهُ بِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ لَكِنَّ جَعْلَ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ، وَالْكَمِّيَّةِ سُنَّةً، وَالْمُحَافَظَةَ عَلَيْهَا هُوَ الَّذِي نَقُولُ إنَّهُ بِدْعَةٌ

“Memang benar bahwa sholat malam di bulan Ramadhan adalah sunnah tanpa ada khilaf, dan dikerjakan secara berjamaah adalah sunnah tidak diingkari -karena Ibnu Ibaas dan yang lainnya pernah bermakmum kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam sholat malam-. Akan tetapi menjadikan cara sholat dan jumlah (20 rakaat) sebagai sunnah (Nabi) dan kontinyu dalam malakukannya itulah yang kami katakan sebagai bidáh” (Subulus Salam 1/345)

Yang perlu diperhatikan bahwa di Subulus Salam :

Pertama : As-Shonáni membenarkan riwayat bahwa Umar mengumpulkan orang-orang untuk sholat 23 rakaát.

Kedua : Beliau menekankan bahwa tidak hadits yang marfu’ (dari Nabi) bahwasanya Nabi sholat malam 23 raka’at, semua hadits yang datang tentang hal tersebut adalah dho’if. Ini yang menjadikan beliau menekankan bahwa menganggap sholat 20 rakaat sebagai sunnah adalah anggapan yang bid’ah.

Ketiga : Meskipun beliau menetapkan bahwa 20 rakaat telah datang dari Umar bin Al-Khottob namun beliau memandang bahwa tidak wajib mengikuti Umar, yang wajib adalah mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya 11 raka’at.

Tentu pendapat As-Shon’ani ini kurang tepat, lagi pula beliau termasuk ulama mutaakhirin (belakangan) yang wafat di abad ke 12 Hijriyah.

12 HR. Bukhari no 2031 dan Muslim no 1757

13 HR. Muslim dalam shahihnya no 749

14 Shahih Ibn Khuzaimah no 1110, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh al-A’dzomi

15 HR. Abu Dawud no : 1441, An-Nasa’I no : 1679, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no : 1101, Ibnu Hibban dalam shahihnya. Dishahihkan Ad-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarat 8/156, Syaikh Al-Albani dalam shahih abu dawud 5/184.

16 Sebagaimana penjelasan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 2/349

17 HR. Abu Dawud no 1377 dan Nasa’i no 1364, dishahihkan syaikh Al-Albani dalam shahih wa dhaif Sunan Abu Dawud.

18 HR. Ahmad no 17026, Nasa’I no 584 dan ini adalah lafadz beliau, Ibnu Majah 1251. Dishahihkan Ibnu Khuzaimah 260 dan Al-Hakim 583, Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud 5/21 menshahihkan sanad hadits ini.

19 Dzakhiratul ‘Uqba fi Syarh Al-Mujtaba 7/423

20. Al-Istidzkar 2/69

21 Al-Muwaththa no 251

22 At-Tamhid Ibnu Abdil Barr 8/114

23 At-Tamhid Ibnu Abdil Barr 2/63

24 Hadits ini dikeluarkan oleh Ali bin Ja’ad dalam Musnad beliau no 2825, Al-Baihaqi dalam Sunan beliau 2/496, Al-Firyabi dalam As-Shiyam 176.

25 Adapun anggapan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa Al-Imam At-Tirmidzi mengisyaratkan akan dhoifnya atsar ini -dengan dalil bahwa At-Tirmidzi mengatakan dengan shighot at-tamriid رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ وَعُمَرَ وَغَيْرِهِمَا– maka anggapan ini kurang tepat. Hal ini karena banyak sekali di kitab Sunan At-Tirmidzi beliau menghikayahkan hadits-hadits yang shahih bahkan yang terdapat di shahihain dengan shighoh at-Tamriidh, dan tentu maksud beliau bukan untuk mengisyaratkan akan lemahnya tetapi hanya sekedar untuk menghikayatkan jalur-jalur periwayatan hadits.

Misalnya At-Tirmidzi berkata :

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ

“Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam bahwasanya beliau membaca surat at-Thuur di sholat magrib” (Sunan At-Tirimidzi 1/403).

Padahal hadits tentang Nabi membaca surat at-Thuur di sholat maghrib diriwayatkan oleh Al-Bukhari no 4854.

Demikian juga anggapan syaikh Al-Albani bahwasanya Al-Imam Asy-Syafií mendoifkan atsar Umar ini, beliau berdalil dengan perkataan Syafií yang dinukil oleh Al-Muzani di Mukhtashornya bahwasanya Syafií berkata : رُوِيَ عَنْ عُمَرَ “Diriwayatkan dari Umar”

Maka berikut nukilan perkataan Asy-Syafií selengkapnya :

فَأَمَّا قِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَصَلَاةُ الْمُنْفَرِدِ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْهُ وَرَأَيْتهمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَأَحَبُّ إلَيَّ عِشْرُونَ؛ لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَكَذَلِكَ يَقُومُونَ بِمَكَّةَ وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ

“Adapun sholat malam di bulan Ramadhan maka sholat sendirian lebih aku sukai, dan aku melihat di Madinah mereka sholat malam 39 rakaát. Dan yang lebih aku sukai adalah 20 rakaát karena hal itu diriwayatkan dari Umar. Dan demikianlah mereka di Mekah sholat malam 20 rakaát dan mereka witir 3 rakaát”

Maka sangat jelas dalam perkataan Asy-Syafií di atas justru beliau membenarkan atsar Umar, karena pada perkataan di atas beliau sedang berdalil dengan atsar Umar sehingga beliau lebih memilih sholat tarawih dengan 20 rakaát.

Dan ternyata di Mukhtashor Al-Muzani banyak sekali perkataan Asy-Syafií dengan shighoh at-Tamriid akan tetapi riwayat yang beliau bawakan adalah shahih. Beliau menggunakan shighoh at-Tamriid hanya sekedar untuk menghikayatkan saja bukan bermaksud untuk mendhoifkan riwayat. Contohnya beliau berkata :

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُنْقَصَ عَمَّا رُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ بِالْمُدِّ وَاغْتَسَلَ بِالصَّاعِ»

“Dan aku suka agar air tidak kurang dari yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau berwudu dengan air seukuran mudd, dan beliau mandi dengan air seukuran shoo’”.

Padahal hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya no 325.

26 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7770, Fadhail Ramadhan Ibnu Abi Dunya hlm. 79 no riwayat : 49. Sanad atsar ini sesuai dengan syarat (kriteria) Imam Muslim, dishahihkan Nawawi dalam Al-Majmu’ 4/32 dan Ibnul Iraqi di Tarhu At-Tatsrib 3/97.

27 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7771

28 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7773, dan dengan makna yang sama dalam riwayat Ismail bin Abdul Malik dalam Mushannaf Abdurrazzaq no 7749, dan dengan makna yang sama dalam riwayat Musa bin Nafi’ dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/271

29 HR. Baihaqi dalam Sunan beliau 2/496 no 4803, Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab beliau Ta’sisul Ahkam 2/287 mengatakan : Sanadnya shahih.

30 Lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 4/70

31 At-Tarikh Al-Kabir 9/28 tarjamah no 234

32 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 7683 dengan sanad shahih.

33 Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata :

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam, semuanya takut akan kemunafikan atas dirinya”(Shahih Al-Bukhari 1/18).

Diantara shahabat yang dijumpai oleh beliau adalah ; Aisyah, Asmaa’ binti Abi Bakar, Abu Mahdzuurah, Ibnu Ábbas, Abdullah bin Ámr, Ibnu Umar, Ibnu Az-Zubair, Úqbah bin al-Haarits, Ummu Salamah, Al-Miswar bin Al-Makhromah, dan Abdullah bin Ja’far. (Lihat Siyar A’laam An-Nubalaa’ 5/89-90)

34 Majmu’ Fatawa 22/272 dan 23/113

35 Nailul Authar 3/66, Dar Al-Hadits

36 Al-Ikhtiyarat hlm. 64

37 Majmu’ Al-Fatawa 23/113

Read more https://firanda.com/2729-bolehnya-shalat-tarawih-lebih-dari-11-rakaat.html