Ibnu Taimiyyah berkata
((Hajr ini bervariasi penerapannya, sesuai dengan kondisi para pelaksananya, tergantung kuat atau lemahnya kekuatan mereka. Demikian juga banyak atau sedikitnya jumlah mereka. Sebab, tujuan dari hajr adalah memberi hukuman dan pelajaran bagi orang yang di-hajr, sekaligus agar orang umum tidak melakukan seperti perbuatan orang yang di-hajr. Jika maslahatnya lebih besar -dimana praktek hajr terhadap pelaku maksiat mengakibatkan berkurangnya keburukan- maka kala itu hajr disyari’atkan. Namun, apabila orang yang di-hajr, demikian juga orang lain tidak berhenti dari kemaksiatannya, bahkan semakin menjadi-jadi, dan pelaku hajr itu sendiri lemah, sehingga mudharat yang timbul lebih besar daripada kemaslahatan, maka hajr tidaklah disyari’atkan, bahkan sikap lemah lembut kepada sebagian orang lebih bermanfaat daripada penerapan hajr untuk kondisi semacam ini.
Terkadang, penerapan hajr kepada sebagian orang lebih bermanfaat dibandingkan bersikap lemah lembut.
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lembut kepada sebagian orang (yang melakukan kesalahan dan kemaksiatan) dan meng-hajr sebagian yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-hajr tiga orang yang tidak ikut jihad dalam perang tabuk, padahal mereka lebih baik daripada kebanyakan mu-allaf yang sedang dibujuk hatinya. Namun, mengingat para mu-allaf tersebut adalah para pemuka di kabilah-kabilah mereka dan ditaati, maka kemaslahatan agama diraih dengan cara bersikap lemah lembut kepada mereka. Adapun tiga orang yang tidak ikut jihad pada perang tabuk, maka mereka adalah orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang beriman selain mereka banyak jumlahnya, sehingga dengan meng-hajr mereka tampaklah kekuatan dan kemuliaan agama, sekaligus untuk membersihkan mereka dari dosa.
Hal ini seperti halnya bersikap terhadap musuh. Terkadang disyari’atkan perang, terkadang damai dengan mereka, dan terkadang dengan menerima jizyah dari mereka, semua itu tergantung kondisi dan kemaslahatan.
Jawaban Imam Ahmad dan para imam yang lain tentang permasalahan hajr dibangun di atas landasan ini (yaitu membandingkan antara mashlahat dan mudharat, pen). Oleh karena itu, Imam Ahmad membedakan (penerapan hajr) di daerah-daerah yang banyak timbul bid’ah –sebagaimana halnya bid’ah qadariyyah dan tanjim di Khurasan, serta bid’ah tasyayyu’ (syi’ah) di Kufah- dengan daerah-daerah yang tidak banyak timbul bid’ah. Beliau juga membedakan antara para gembong bid’ah yang menjadi panutan dengan selain mereka.
Jika seseorang sudah mengetahui tujuan syari’at, maka seharusnya ia berusaha mencapai tujuan tersebut dengan menempuh jalan yang paling cepat mengantarkannya kepada tujuan tadi)) (Majmuu’ al-Fataawa XXVIII/206-207)
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata, "Kondisi hajr ada tiga:
1. Maslahat lebih kuat dibandingkan kerusakan, maka hajr tersebut dituntut (untuk diterapkan)
2. Atau kerusakan yang lebih kuat, maka penerapan hajr tanpa diragukan lagi adalah dilarang
3. Atau belum dapat ditentukan manakah yang lebih kuat antara kerusakan maupun maslahat, maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
"Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam." (HR Al-Bukhari (V/2302) (5879) dan Muslim (IV/1984) (2560), adapun perkataan Syaikh utsaimin dalam Majmuu’ Fataawa Syaikh Ibnu 'Utsaimin (III/17) soal no (385). Selain karena keumuman hadits tersebut, juga karena hukum asal dalam dakwah adalah dengan kelembutan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama Salaf.)
Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwa hajr itu seperti obat, jika memberikan faedah maka gunakanlah. Adapun jika semakin menambah penyakit maka jangan digunakan.... Jika engkau meng-hajr-nya tetapi ia justru semakin menjadi-jadi dan membencimu… maka janganlah engkau meng-hajr-nya” (Liqaa' al-Baab al-Maftuuh, no (200).
Beliau juga berkata berkata, “Ahli bid’ah, jika ia menyeru kepada bid’ahnya dan ada maslahat dengan meng-hajr-nya, maka janganlah disalami. Namun jika tidak ada maslahat dengan meng-hajr-nya maka berilah salam kepadanya.” (Liqaa' al-Baab al-Maftuuh, no (145).
Mengingat hajr dibangun atas landasan maslahat dan mudharat, maka tidak semua orang yang melakukan kemaksiatan di-hajr. Begitu juga dengan para pelaku bid’ah. Semua ini kembali kepada maslahat dan mudharat.
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata, "Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para pelaku maksiat orang-orang munafik, dan orang-orang musyrik bervariasi. Yang di-hajr oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagian pelaku kemaksiatan, tidak semuanya, hanya sebagian saja. Demikian juga dengan orang-orang munafik, mereka tidaklah di-hajr oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang musyrik yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-hajr mereka. Begitu pula dengan orang-orang Nasrani yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr mereka. Hal ini menunjukkan kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ilmu dan para imam dari kalangan muhaqqiqin, sebagaimana juga dipaparkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di sejumlah pernyataan beliau, bahwa hajr itu mengikuti maslahat yang syar’i. Orang yang di-hajr hanyalah yang bisa mendapat manfaat dari hajr tersebut. Adapun orang yang tidak bisa mengambil faedah dari hajr, maka ia tidak di-hajr. Sebab hajr adalah hukuman untuk meluruskan. Jika hukuman tidak bermanfaat maka tidak disyari’atkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meng-hajr seluruh (pelaku kemaksiatan)."
(Dari ceramah beliau yang berjudul an-Nashiihah lisy Sysabaab)
https://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-salah-kaprah-tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah
No comments:
Post a Comment