Friday, 25 May 2018

IMAM BELUM BERWUDHU BARU MENYADARI SETELAH SELESAI SHALAT, APAKAH SHA SHALATNYA MAKMUM

IMAM BELUM WUDHU DAN BARU MENYADARI SETELAH SELESAI SHALAT, SAHKAH SHALATNYA MAKMUM ?


*IMAM BELUM WUDHU DAN BARU MENYADARI SETELAH SELESAI SHALAT, SAHKAH SHALATNYA MAKMUM ?*
_Dijawab oleh Al Ustadz Abu ‘Utsman Kharisman hafizhahullah via WA Al I’tishom_


*P E R T A N Y A A N*
❓ Bismillah. Afwan ada yg titip pertanyaan. Bgmn bila imam lupa tdk punya wudhu dan menyadari setelah selesai sholat berjamaah? Apakah perlu diulang atau sholat makmum sdh sah? Jazaakallahu khayran.

*J A W A B A N*
⌚ Jika setelah selesai sholat berjamaah Imam baru sadar bahwa ia ternyata berhadats, maka sholat makmum sah (tidak harus mengulang) sedangkan sholat Imam batal (harus mengulang) (penjelasan Ibnu Qudamah dalam asy-Syarhul Kabiir (2/55)).

Sebagaimana hal tersebut pernah terjadi pada para Sahabat seperti Umar bin al-Khotthob, Utsman, Ali dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum ajmain. Mereka pernah sholat menjadi Imam, kemudian selesai sholat sadar masih berhadats, maka mereka mengulangi sholat dan tidak menyuruh makmum untuk mengulangi sholat (disebutkan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (3/265)).

عَنْ إبْرَاهِيمَ ؛ أَنَّ عُمَرَ صَلَّى بِالنَّاسِ وَهُوَ جُنُبٌ فَأَعَادَ ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ لاَ يُعِيدُوا

_Dari Ibrahim bahwasanya Umar sholat bersama manusia dalam keadaan junub, kemudian ia mengulangi sholat dan tidak memerintahkan mereka (makmum) untuk mengulangi sholat_ (H.R Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ؛ أَنَّهُ صَلَّى بِهِمَ الْغَدَاةَ ، ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّهُ صَلَّى بِغَيْرِ وُضُوءٍ فَأَعَادَ ، وَلَمْ يُعِيدُوا

_Dari Ibnu Umar bahwasanya ia sholat bersama mereka (para makmum) sholat Subuh kemudian beliau baru ingat bahwa beliau sholat tanpa berwudhu’, maka beliau mengulangi sedangkan mereka (para makmum) tidak mengulangi_ (H.R Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf)

عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرو بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الْمُصْطَلِق : أَنَّ عُثْمَانَ صَلَّى بِالنَّاسِ ، وَهُوَ جُنُبٌ ، فَأَعَادَ وَلَمْ يُعِيْدُوا

_Dari Muhammad bin Amr bin al-Harits bin al-Mustholiq bahwasanya Utsman sholat bersama manusia dalam keadaan junub kemudian beliau mengulang sholat dan mereka (para makmum) tidak mengulang sholat_ (riwayat al-Baihaqy dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar)

عَنْ عَلِيٍّ ، قَالَ : إذا صَلَّى الْجُنُبُ بِالْقَوْمِ فَأَتَمَّ بِهِمَ الصَّلاَة ، آمُرُه أَنْ يَغْتَسِلَ وَيُعِيدَ ، وَلَمْ آمُرْهُمْ أَنْ يُعِيدُوا

Dari Ali beliau berkata: _Jika seorang junub sholat bersama suatu kaum menjadi Imam bagi mereka, maka aku perintahkan ia untuk mandi dan mengulang sholatnya dan aku tidak memerintahkan mereka (para makmum) untuk mengulang (sholatnya)_(riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf)

Namun jika seorang makmum mengetahui dengan yakin bahwa Imamnya telah berhadats saat sebelum sholat selesai, tapi ia tetap sholat bersamanya, maka sholatnya juga tidak sah.

(“Fiqh Bersuci dan Sholat”, Abu Utsman Kharisman, penerbit Cahaya Sunnah)

*****
:: http://bit.ly/alistifadah ::
Arsip WALIS » http://walis-net.blogspot.com/2016/06/imam-belum-wudhu-dan-baru-menyadari.html
Kritik dan saran » http://goo.gl/d0M01P
Faedah Lain » http://walis.salafymedia.com/

•••••••
Majmu’ah AL ISTIFADAH
http://bit.ly/tentangwalis
Telegram http://bit.ly/alistifadah JOIN
مجموعة الاستفادة
Kamis, 25 Ramadhan 1437 H // 30 Juni 2016 M

☄☄☄☄☄☄☄☄☄

Powered by WPeMatico


https://salafymedia.com/blog/imam-belum-wudhu-dan-baru-menyadari-setelah-selesai-shalat-sahkah-shalatnya-makmum/

Monday, 21 May 2018

APAKAH MUNTAH BISA MEMBATALKAN PUASA

Muntah Ketika Puasa
Pertanyaan:


Apakah muntah bisa membatalkan puasa?

Jawaban:

Jika seseorang muntah dengan sengaja maka batallah puasanya. Dan jika muntah tidak dengan sengaja, maka tidak batal. Dalil dari masalah ini adalah hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang muntah dengan sengaja hendaklah dia meng-qadha’ dan barangsiapa yang muntah tidak dengan sengaja, maka tidak ada qadha’ baginya.” (HR. Abu Dawud).

Jika Anda muntah tidak karena sengaja, maka puasa Anda tidak batal. Jika seseorang merasa perutnya mual dan akan keluar sesuatu, maka kami katakan kepadanya, jangan dicegah dan jangan dipaksa-paksa untuk muntah? Bersikaplah biasa-biasa dan jangan memaksakan diri untuk memuntahkannya serta jangan ditahan-tahan. Jika Anda memaksakan diri dalam memuntahkannya, maka batallah puasa Anda dan jika dicegah akan membahayakan Anda. Maka, biarkan saja muntah itu keluar secara alami keluar tanpa ikut campur Anda, maka hal itu tidak akan membahayakan Anda dan tidak membatalkan puasa Anda.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more https://konsultasisyariah.com/6407-muntah-saat-puasa.html

#Puasa Tanya Jawab

YANG HUKANNTERMAUK PEMBATAL PUASA (02)

Yang Bukan Termasuk Pembatal Puasa (Bagian 02)

By Ustadz Ammi Nur Baits -

Yang Bukan Termasuk Pembatal Puasa (Bagian 02)

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Kita masih menyisakan 4 pembahasan tentang hal yang dianggap pembatal, padahal bukan pembatal. Dari teks pertanyaan sebelumnya,

Tidak mandi besar setelah berhubungan seksual hingga fajar atau tetap dalam keadaan junub hingga fajar.

Melakukan suntikan / injeksi dimana cairan – cairan dari suntikan tersebut bisa mencapai organ di dalam perut.

Dengan sengaja memasukkan suatu benda melalui pori – pori.

Musafir yang melakukan perjalanan paling sedikit 8 farsakh atau sekitar 48 kilometer.

Berikut keterangan lebih rinci,

Keempat, tetap dalam keadaan junub hingga fajar

Ini bukan pembatal puasa. Dalilnya, hadis dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma; mereka menceritakan,

كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari 1926 dan Muslim 1109)

Kelima, Melakukan suntikan

Suntikan di siang hari Ramadan ada dua macam:

Suntikan nutrisi (infus), yang bisa menggantikan makanan dan minuman. Suntikan semacam ini membatalkan puasa karena dinilai seperti makan atau minum.

Suntikan selain nutrisi, seperti: suntik obat atau pengambilan sampel darah. Suntikan semacam ini tidak membatalkan dan tidak memengaruhi puasa, baik suntikan ini diberikan di lengan atau di pembuluh. Hanya saja, jika memungkinkan, sebaiknya suntikan ini dilakukan di malam hari, dan itu lebih baik, sebagai bentuk kehati-hatian ketika puasa.

Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di: Hukum Suntik di Bulan Ramdhan

Keenam, Memasukkan suatu benda melalui pori – pori

Kami tidak mendapat keterangan yang menunjukkan bahwa implantasi benda di tubuh manusia termasuk pembatal puasa. Karena implantasi benda di tubuh, tidak termasuk makan atau minum. Selain itu, sebagian ulama menegaskan bahwa suntikan obat tidak membatalkan puasa, dan itu lebih dari sekedar implantasi.

Allahu a’lam

Ketujuh, melakukan perjalanan paling sedikit 8 farsakh

Ungkapan yang lebih tepat, melakukan safar yang membolehkan dia untuk qashar shalat.

Apakah Safar Membatalkan Puasa?

Ada sebagian ulama yang melarang berpuasa ketika safar. Dan jika tetap melakukan puasa ketika safar, puasanya tidak sah. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana yang beliau kupas panjang lebar di Al-Muhalla (4/402 – 403).

Sementara mayoritas ulama mengatakan, safar adalah sebab yang membolehkan seseorang mendapatkan keringanan untuk tidak puasa, dan bukan pembatal puasa. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 7/229).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya, tentang hukum puasa ramadhan ketika safar. Jawab Anas:

سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ، فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

“Kami pernah safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang tidak puasa dan yang tidak puasa juga tidak mencela yang puasa.” (HR. Muslim 1118).

Dalam riwayat lain, Anas mengatakan,

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ

“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada diantara kami yang puasa dan ada yang tidak puasa.” (HR. Muslim 1119).

Dilarang Puasa jika Merepotkan

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan safar. Kemudian beliau melihat ada orang kepayahan yang dikerumuni banyak sahabat, untuk diberi teduh. Beliaupun bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan orang ini?’ Jawab sahabat: ‘Dia sedang puasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ

“Bukan hal yang baik, seseorang berpuasa ketika safar.” (HR. Muslim 1115).

Hadis ini dipahami bahwa larangan itu berlaku ketika safarnya menyebabkan dia kepayahan dan merepotkan orang lain.  (Syarh Shahih Muslim An-Nawawi, 7/233).

Allahu a’lam

Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/19276-yang-bukan-termasuk-pembatal-puasa.html

#Puasa Tanya Jawab

YANG BUKAN TERMASUK PEMBATAL PUASA (01)

Yang Bukan Termasuk Pembatal Puasa (Bagian 01)

Yang Bukan Termasuk Pembatal Puasa (Bagian 01)

Pertanyaan:

Saya menemukan situs yang menyebutkan daftar pembatal puasa. Apa itu benar?

Berbohong. Baik itu berbohong tentang Allah dan atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun berbohong tentang segala hal


Mencelupkan seluruh kepala ke dalam air dengan sengaja


Dengan sengaja menghirup asap, baik itu asap rokok maupun asap yang lainnya


Tidak mandi besar setelah ebrhubungan seksual hingga fajar atau tetap dalam keadaan junub hingga fajar


Melakukan suntikan / injeksi dimana cairan – cairan dari suntikan tersebut bisa mencapai organ di dalam perut


Dengan sengaja memasukkan suatu benda melalui pori – pori.


Musafir yang melakukan perjalanan paling sedikit 8 farsakh atau sekitar 48 kilometer.


Trim’s

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Satu kaidah baku yang perlu kita pahami baik-baik, bahwa puasa adalah ibadah yang tata caranya telah dijelaskan syariat: mulai rukun, syarat, hingga pembatal, semuanya telah dijelaskan oleh syariat. Karena itu, kita tidak boleh mengatakan ada satu perbuatan pembatal puasa, kecuali berdasarkan dalil.

Ketika seseorang berpuasa, kemudian dia melakukan aktivitas kesehariannya, hukum asal puasanya adalah sah, kecuali jika kita mendapatkan bukti bahwa ada salah satu perbuatannya yang terhitung pembatal puasa.

Dari sekian daftar yang disebutkan, ada beberapa yang perlu kita rinci, sehingga kita bisa menyimpulkan apakah itu termasuk pembatal ataukah bukan.

Pertama, berbohong

Kita sepakat, bohong termasuk perbuatan dosa. Dan tidak semua perbuatan dosa yang dikerjakan seseorang menyebabkan puasanya batal.

Perbuatan dosa yang membatalkan puasa adalah perbuatan yang asalnya pembatal puasa, misalnya: minum khamr. Minum: membatalkan puasa, khamr: sumber dosa. Makan babi. Makan: membatalkan puasa, babi: penyebab dosanya. Dst.  Sebaliknya, perbuatan dosa yang asalnya bukan pembatal puasa, tidak terhitung sebagai pembatal puasa. Meskipun bisa jadi ini menggugurkan pahala puasa pelakunya. Sebagaimana yang pernah dikupas di: https://konsultasisyariah.com/puasa-tanpa-pahala-buletin-ramadhan/

Berbohong: menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai realita, adalah perbuatan yang pada asalnya tidak membatalkan puasa. Karena sebatas mengucapkan sesuatu, tidak menyebabkan puasa seseorang menjadi batal. Sebagaimana lelaki melihat wanita yang tidak menutup aurat (zina mata), juga tidak membatalkan puasanya.

Kedua, mencelupkan seluruh kepala ke dalam air

Kegiatan semacam ini bukan termasuk pembatal puasa. Karena membasahi badan dengan air, selama tidak sengaja menelannya, tidak membatalkan puasa. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah membasahi kepala beliau dengan air, karena kepanasan. Penaklukan kota Mekah, terjadi ketika bulan ramadhan. Ketika Fathu Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk berbuka. Beliau bersabda,

تَقَوَّوْا لِعَدُوِّكُمْ

“Persiapkan kekuatan fisik untuk menghadapi musuh kalian.”

Namun beliau sendiri tetap berpuasa. Salah seorang sahabat mengatakan,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ، أَوْ مِنَ الْحَرِّ

Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di daerah ‘Arj, beliau menuangkan air ke kepala beliau saat puasa, karena kehausan atau sangat panas. (HR. Ahmad 23223, Abu Daud 2365 dan sanadnya dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Dan masih banyak dalil lainnya yang menunjukkan bahwa tindakan semacam ini, tidaklah mempengaruhi puasa seseorang.

Ketiga, Dengan sengaja menghirup asap, baik itu asap rokok maupun asap yang lainnya

Kita perlu membedakan antara menghirup asap rokok, dengan merokok.

Para ulama menyebut perbuatan ‘merokok’ dengan “syurbud dukhan” (minum asap). Mereka menyebutnya dengan “syurbun” (minum), karena dilakukan dengan cara intisyaq (menghisap). Kita semua sangat yakin, asap rokok  sampai ke lambung dan ke perut. Sementara semua yang dimasukkan dan sampai ke perut dengan sengaja maka membatalkan puasa, baik benda itu bermanfaat maupun membahayakan. Sebagaimana ketika ada orang yang menelan biji tasbih atau potongan besi dengan sengaja, puasanya batal. Tidak disyaratkan harus makan dan minum yang membatalkan puasa harus mengenyangkan atau memberi manfaat kesehatan. Setiap yang dimasukkan ke perut dengan sengaja maka bisa dinamakan makan atau minum. (simak Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, Fatawa Shiyam, no. 203 dan 204)

Berbeda dengan hukum menghirup asap. Orang yang masak, kemudian dia menghirup asap masakan, tidak menyebabkan puasanya batal.  (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 892). Sebagaimana orang yang menggunakan parfum dan dia menghirup bau harumnya, dia tidak batal puasanya. Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah banyak parfum, bahkan beliau menganjurkan orang yang jumatan untuk menggunakan parfum dan beliau tidak mengingatkan agar meninggalkan parfum ketika puasa. Ini dalil, mencium bau, atau menghirup asap, tidak membatalkan puasa.

Bagaimana dengan Dupa?

Ulama berbeda pendapat tentang dupa. Sebagian melarang orang yang puasa menghirup asap dupa, sebagian memakruhkan, dan sebagian membolehkan. Pendapat yang kuat, dibolehkan, sekalipun untuk kehati-hatian, sebaiknya ditinggalkan.

Allahu a’lam, bersambung insya Allah pada artikel Yang Bukan Pembatal Puasa – Bagian 2

Read more https://konsultasisyariah.com/19290-bukan-pembatal-pembatal-puasa.html

#Puasa Tanya Jawab

YANG BUKAN TERMASUK PEMBATAL PUASA (03)

Yang bukan Pembatal Puasa (bagian 03)


By Ustadz Ammi Nur Baits -

Yang bukan Pembatal Puasa (bagian 03)


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Beberapa hal lainnya yang dianggap masyarakat sebagai pembatal puasa yang layak dikritisi adalah

Menangis


Berkumur


Menelan ludah


Membersihkan lubang telinga


Keluar darah


InsyaaAllah pada kesempatan ini, akan kita bahas masing-masing,

Pertama, menangis

Kami tidak menjumpai satupun dalil yang menunjukkan bahwa nangis bisa membatalkan puasa. Baik dalil yang menunjukkan makna tegas maupun isyarat. Terlebih, nangis tidak identik dengan menelan air mata, sehingga tidak bisa dihukumi sama dengan minum.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah pernah ditanya, apakah air mata yang keluar ketika memotong dan merajang bawang bisa membatalkan puasa?

Jawaban Tim Fatawa Syabakah Islamiyah,

فالدموع النازلة بسبب تقطيع البصل وشم رائحته لا تبطل الصيام

“Air mata yang keluar karena memotong bawang atau disebabkan aroma bawang, tidak membatalkan puasa.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 106644)

Kedua, berkumur

Salah satu pertanyaan yang banyak nyangkut di KonsultasiSyariah.com, bolehkah berkumur ketika puasa? Apakah berkumur bisa membatalkan puasa?

Kita sepakat bahwa yang menjadi permbatal puasa adalah makan, minum atau yang semakna dengannya. Dan kita juga sepakat, berkumur tidak termasuk makan atau minum. Karena itu, berkumur bukan pembatal.

Lebih dari itu, terdapat dalil sangat tegas yang menunjukkan bahwa berkumur tidak membatalkan puasa. Hadis dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا، قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟ ” قُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَفِيمَ؟

Suatu hari, syahwatku naik hingga aku mencium istri, padahal aku sedang puasa. Akupun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: ‘Hari ini aku melakukan perkara besar. Aku mencium istriku padahal aku sedang puasa.’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa pendapatmu jika kamu berkumur dengan menggunakan air ketika kamu sedang puasa?’ ‘Boleh saja, tidak masalah.’ Jawab Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menimpali, ‘Lalu mengapa bingung?’ (HR. Ahmad 138, Ibnu Khuzaimah 1999, dan sanadnya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

Maksud Hadis

Mencium ketika puasa, selama tidak sampai keluar mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana orang berkumur dengan air ketika puasa, selama tidak menelan air dengan sengaja, puasanya tidak batal.

Ini menunjukkan para sahabat sangat memahami bahwa berkumur tidak memberikan pengaruh terhadap puasa seseorang. Karena itulah, Ibnu Qudamah menegaskan, ulama sepakat, berkumur tidak membatalkan puasa. Beliau mengatakan,

ولا يفطر بالمضمضة بغير خلاف، سواء كان في الطهارة أو غيرها

Berkumur tidak membatalkan puasa tanpa ada perselisihan, baik ketika wudhu maupun di luar wudhu.” (Al-Mughni, 3/123).

Ketiga, menelan ludah

Ibnu Qudamah memberikan rincian tentang masalah ini,

وما لا يمكن التحرز منه، كابتلاع الريق لا يفطره، لأن اتقاء ذلك يشق، فأشبه غبار الطريق، وغربلة الدقيق

Sesuatu yang tidak mungkin dihindari ketika puasa, seperti menelan ludah, tidak membatalkan puasa. Karena menghindari semacam ini sangat memberatkan. Kasusnya sebagaimana debu jalanan atau tebaran tepung.

Kemudian Ibnu Qudamah melanjutkan,

فإن خرج ريقه إلى ثوبه، أو بين أصابعه، أو بين شفتيه، ثم عاد فابتلعه، أو بلع ريق غيره، أفطر؛ لأنه ابتلعه من غير فمه، فأشبه ما لو بلع غيره

Jika ludah itu telah keluar ke bajunya atau diletakkan diantara jarinya atau berada di antara bibirnya, kemudian kembali dia telan, atau dia menelan ludah orang lain, maka puasanya batal. Karena berarti dia menelan ludah selain dari mulutnya. Sehingga sama dengan ketika dia menelan benda lainnya. (Al-Mughni: 3/122).

Hal senada juga disampaikan Sayyid Sabiq. ketika membahas tentang hal-hal yang dibolehkan bagi orang yang berpuasa, beliau mengatakan:

وكذا يباح له ما لا يمكن الاحتراز عنه كبلع الريق وغبار الطريق، وغربلة الدقيق والنخالة ونحو ذلك.

“Demikian pula, dibolehkan untuk menelan benda-benda yang tidak mungkin bisa dihindari. Seperti menelan ludah, debu-debu jalanan, taburan tepung, atau dedak…” (Fiqh Sunnah, 1/462)

Keempat, membersihkan lubang telinga

Kami tidak tahu, dari mana masyarakat bisa menyimpulkan hal ini, membersihkan lubang telinga atau korek-korek hidung bisa membatalkan puasa. Jelas ini adalah salah paham yang akan sangat sulit dicari pembenarannya. Jika alasannya adalah memasukkan satu benda ke badan, ini tidak bisa diterima. Karena tidak semua bentuk memasukkan benda ke badan bisa dihukumi makan atau minum.

Andaikan semua bentuk memasukkan benda ke badan bisa membatalkan puasa, tentu berkumur bisa membatalkan puasa. Padahal di awal, telah ditegaskan, berkumur tidak membatalkan puasa dengan sepakat sahabat dan para ulama.

Kelima, keluar darah

Barangkali yang menjadi pendekatan di sini adalah hukum bekam ketika puasa. Apakah bekam ketika puasa membatalkan puasa ataukah tidak? Berangkat dari kasus bekam, sebagian ulama memberikan hukum yang sama untuk semua tindakan yang mengeluarkan darah, seperti sayatan, operasi ringan, dst.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bekam bisa membatalkan puasa. Berdasarkan hadis Syaddad dan Rafi bin Khadij, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أفطر الحاجم والمحجوم

“Orang yang membekam dan yang dibekam, puasanya batal.” (HR. Abu Daud 2367, Turmudzi 774, Ibn Majah 1679, dan dishahihkan Al-Albani).

Diantara ulama yang mengambil pendapat ini adalah, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Al-Auza’i, Ad-Darimi, dan Ishaq bin Rahawih. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam, dan Ibnul Qoyim.

Sementara jumhur (mayoritas ulama), hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiiyah, bekam tidak membatalkan puasa. Dan insyaaAllah, inilah pendapat yang lebih kuat, berdasarkan beberapa dalil dan riwayat, diantaranya,

1. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam ketika beliau ihrom dan ketika berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)

2. Riwayat dari Tsabit Al-Bunani, beliau pernah bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Apakah dulu kalian (para sahabat) tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940).

3. Keterangan Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rukhsoh (keringanan) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1976, Ad-Daruquthni 2268, dan sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani).

Keterangan Abu Said radhiyallahu ‘anhu, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rukhshah’, menunjukkan bahwa sebelumnya bekam dilarang untuk orang yang puasa. Karena namanya rukhshah, berarti ada laranngan yang mendahuluinya. Sebagaimana keterangan Ibn Hazm dalam Al-Muhalla (4/337).

Karena itu, mengeluarkan darah dengan sengaja, sekalipun dalam jumlah banyak, tidak membatalkan puasa, kecuali jika dikhawatirkan menyebabkan badan lemes, hukumnya terlarang sebagaimana keterangan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Sementara luka yang mengeluarkan darah, para ulama menegaskan bahw itu tidak mempengaruhi keabsahan puasa seseorang sedikitpun.

Allahu a’lam

Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/19409-yang-bukan-pembatal-puasa-bagian-03.html

MENANGIS SAAT SEDANG SHALAT APAKAH BATAL SHALATNYA

Menangis Membatalkan Shalat

Apakah benar menangis membatalkan shalat? Bentuk menangis seperti apa yang membatalkan shalat?

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada beda pendapat di antara para ulama mengenai bentuk menangis yang membatalkan shalat.

Mari kita lihat terlebih dahulu dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini.

Pujian Allah bagi orang-orang yang menangis dalam shalatnya. Ayat pertama,

إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا (109)


Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 107-109)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا


Dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Dari ‘Abdullah bin Asy-Syikkhir, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى وَفِى صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنَ الْبُكَاءِ -صلى الله عليه وسلم-


“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, ketika itu beliau menangis. Dari dada beliau keluar rintihan layaknya air yang mendidih.” (HR. Abu Daud no. 904 dan Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyah no. 322. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit keras, ada seseorang yang menanyakan imam shalat kemudian beliau bersabda,

مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ


Perintahkan pada Abu Bakr agar ia mengimami shalat.” ‘Aisyah lantas berkata,

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ ، إِذَا قَرَأَ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ


“Sesungguhnya Abu Bakr itu orang yang sangat lembut hatinya. Apabila ia membaca Al-Qur’an, ia tidak dapat menahan tangisnya.” Namun beliau bersabda, “Tetap perintahkan Abu Bakr untuk menjadi imam.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418)

Dalam riwayat lain disebutkan, dari ‘Aisyah, ia berkata, “

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِى مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ


“Sesungguhnya Abu Bakr apabila menggantikanmu sebagai imam, orang-orang tidak mendengar bacaan shalatnya karena tangisannya.”

Imam Nawawi membawakan dua hadits di atas dalam kitab Riyadh Ash-Shalihin dalam bab 54 “Keutamaan Menangis Karena Takut Kepada Allah Ta’ala dan Rindu pada-Nya.”

Dalil-dalil di atas menunjukkan secara implisit bahwa orang yang menangis dalam shalat karena takut pada Allah, tidak membatalkan shalat. Juga telah ada bukti secara eksplisit bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menangis dalam shalatnya.

Lantas menangis seperti apa yang dibolehkan dan tidak dibolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Menangis ketika membaa Al-Qur’an, saat sujud, begitu pula saat berdo’a adalah sifat orang-orang shalih. Bahkan orang seperti itu layak dipuji.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 13: 238)

Adapun jika menangis karena urusan duniawi dan tidak bisa dicegah, shalatnya tidaklah batal. Adapun jika mampu untuk dicegah dan menangisnya dengan suara, maka shalatnya batal menurut para imam dari empat madzhab. Namun Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam hal ini menyatakan batal dengan syarat jika muncul dua huruf. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8: 170)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Menangis dalam shalat jika karena takut pada Allah dan mengingat perkara akhirat, begitu pula karena merenung ayat yang dibaca seperti saat melewati ayat-ayat yang menyebutkan janji dan ancaman, maka tidak membatalkan shalat. Adapun jika menangis tersebut karena musibah yang menimpa atau semacamnya, maka membatalkan shalat. Bisa membatalkan karena menangis tersebut berkaitan dengan perkara di luar shalat. Karenanya memikirkan perkara-perkara di luar shalat atau perkara lain mesti dihilangkan agar tidak membatalkan shalat. Intinya, memikiran berbagai macam hal yang tidak terkait dengan shalat berakibat kekurangan saja di dalam shalatnya.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 9: 141)

Lihat bahasan sebelumnya: Pandangan Ulama, Menangis Membatalkan Shalat.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.

Asy-Syamail Al-Muhammadiyah. Imam Tirmidzi. Penerbit Dar Ash-Shadiq.

Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 145807.

Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya.

Riyadh Ash-Shalihin. Imam Nawawi.



Sumber : https://rumaysho.com/12330-menangis-membatalkan-shalat.html

Sunday, 20 May 2018

STATUS DOA SHALAT DHUHA

Doa Shalat Dhuha

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz. Ustadz, apakah ada doa sesudah shalat dhuha? Kalau ada tolong kasih tahu dalilnya.

Dari: Prastya Madinah

Jawaban:
Wa’alaikumussalam

Doa Shalat Dhuha

Terdapat doa yang terkenal di sebagian kalangan untuk dibaca setelah shalat dhuha. Lafadz Doanya adalah:

اللَّهُمَّ إنَّ الضَّحَاءَ ضَحَاؤُكَ ، وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ ، وَالْجَمَالَ جَمَالُك ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُك، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُك، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ ، وَإِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضَحَائِك وَبِهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك آتِنِي مَا آتَيْت عِبَادَك الصَّالِحِينَ

Doa ini disebutkan oleh As Syarwani dalam Syarhul Minhaj (7:293) dan Abu Bakr Ad Dimyathi dalam I’anatut Thalibiin (1:295). Namun kedua penulis ini tidak menunjukkan dalil bacaan ini. Dikomentari oleh tim fatwa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih: “Kami tidak mendapatkan dalil kuat yang menunjukkan adanya doa ini pada referensi- referensi yang kami miliki.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no.53488).

Bolehkah diamalkan?
Perlu dipahami dan dijadikan prinsip bagi setiap orang yang beriman, bahwa ibadah dalam agama Islam bersifat tauqifiyah, artinya menunggu dalil. Karena hukum asal ibadah adalah haram kecuali jika ada dalilnya. Apapun bentuk ibadah tersebut dan siapa pun yang mengajarkannya, satu harga mati: semua harus berdalil. Jika tidak maka itu bukan ibadah meskipun kelihatannya adalah ibadah.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait shalat dhuha:

1. Tata Cara Shalat Istikharah.
2. Qadha Shalat Tahajud Waktu Dhuha.
3. Qadha Shalat Dhuha.
4. Rakaat Minimal Shalat Dhuha.
5. Batasan waktu Shalat Dhuha.
6. Link Tentang Shalat Dhuha.

Read more https://konsultasisyariah.com/10588-doa-shalat-dhuha.html

Saturday, 19 May 2018

WANITA TIDAK PUASA KARENA MENYUSUI, QADHA ATAUKAH MEMBAYAR FIDYAH

Wanita tidak Puasa karena Menyusui, Qadha’ ataukah Fidyah?

Pertanyaan:

Bolehkah orang yang menyusui tidak berpuasa? Kapan dia harus meng-qadha‘-nya? Haruskah dia memberi makan orang miskin?

Jawaban:

Seorang ibu jika mengkhawatirkan anaknya jika (ia-ed.) berpuasa, karena hal itu akan mengurangi kandungan susu dan membahayakan anak, maka dia boleh berbuka, tetapi dia harus meng-qadha‘-nya setelah itu, karena posisinya seperti orang sakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185).

Jika halangan itu sudah tidak ada, maka dia harus meng-qadha‘-nya, baik di musim dingin karena waktunya pendek dan udaranya dingin, atau jika tidak bisa di musim dingin bisa dikerjakan di tahun yang akan datang. Adapun menggantinya dengan memberi makan orang miskin tidak boleh dilakukan kecuali jika halangan atau udzur itu datang secara terus menerus yang tidak akan hilang. Dalam keadaan seperti, dia boleh memberi makan kepada orang miskin sebagai pengganti dari puasa.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more https://konsultasisyariah.com/5763-wanita-hamil-puasa.html

HUKUM JUAL BELI DI TERAS MASJID

Hukum Jual Beli di Teras Masjid  

Pertanyaan:

Bismillah. Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah teras luar masjid termasuk masjid yang kita dilarang berjualan di situ? Dan apa batasan suatu itu termasuk bagian dari masjid? Tolong dijawab, ustadz, karena di tempat ana terjadi konflik tentang masalah tersebut. Jazakallahu khairan.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Tidak diragukan lagi bahwa masjid didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار

“Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).

Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk berniaga.

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).

Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).

Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih dalam Irwa’ul Ghalil, 5/134, no. 1295).

Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).

Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual-beli di dalam masjid.

Adapun teras masjid yang ada di sekeliling masjid, bila berada dalam satu kompleks (areal) dengan masjid –karena masuk dalam batas pagar masjid–, maka tidak diragukan hukum masjid berlaku padanya. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,

الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ

“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al-Asybah wan Nazha’ir: 240, as-Suyuthi).

Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Sedangkan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barangsiapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Perumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah terlarang (hutan lindung), tak lama lagi gembalaannya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).

Akan tetapi, bila teras tersebut berada di luar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang, maka hukum masjid tidak berlaku padanya. Demikianlah yang difatwakan oleh Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, pada Fatwa no. 11967. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab.

Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A dalam Majalah Al Furqon, Edisi 2 tahun ke-10, 1431 H/ 2010 M
Artikel www.KonsultasiSyariah.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh redaksi.

Read more https://konsultasisyariah.com/3237-hukum-jual-beli-teras-masjid.html

HUKUM JUAL BELI DI LINGKUNGAN DAN HALAMAN MASJID

HUKUM JUAL BELI DI LINGKUNGAN DAN HALAMAN MASJID

Pertanyaan, “Apa hukum berjualan di halaman masjid?”

Jawaban, “Sesungguhnya, halaman dan pelataran masjid serta daerah kanan dan kiri masjid, demikian pula bangunan yang ditambahkan ke masjid serta semua yang bersambung dengan masjid, baik berada di luar atau pun di dalam bangunan masjid, itu dinilai sebagai lingkungan masjid menurut pendapat yang paling kuat. Adapun ketentuan yang berlaku untuk lingkungan masjid itu sama dengan ketentuan yang berlaku untuk masjid, sehingga tidak diperbolehkan mengadakan transaksi jual beli di tempat tersebut atau pun mengumumkan barang yang hilang. Ketentuan ini berlaku, baik lingkungan masjid tersebut digabungkan kepada masjid secara permanen –yang dibuktikan dengan adanya bangunan atau pagar yang mengelilingi lingkungan masjid– atau pun tidak dikelilingi dengan pagar asalkan batas-batas lingkungan masjid telah diketahui secara pasti.

Di lingkungan masjid tersebut, kita diperbolehkan shalat dengan bermakmum imam yang ada di dalam masjid, asalkan bangunan pokok masjid telah dipenuhi dengan orang-orang yang mengerjakan shalat. Demikian pula, dituntunkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid di lingkungan masjid dan ketentuan-ketentuan lain terkait dengan masjid. Inilah aplikasi nyata dari kaidah fikih,

الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ

‘Pada lingkungan suatu tempat berlaku ketentuan yang juga berlaku untuk tempat tersebut.’ (Al-Asybah wan Nazhair, karya As-Suyuthi, hlm. 125)

Landasan berpijak hadis tersebut adalah sabda Nabi,

أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

‘Ingatlah bahwa setiap raja itu memiliki daerah larangan dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang Allah haramkan.’ (H.r. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, jika pelataran dan halaman yang disebut dengan pelataran dan halaman masjid itu ternyata terpisah dari masjid dengan adanya jalan atau tempat lalu-lalang, artinya seseorang itu tidak mungkin memasuki pelataran masjid kecuali setelah dinilai keluar dari masjid, maka dalam kondisi semisal ini, hal-hal yang terlarang untuk dilakukan di masjid boleh dilakukan di tempat tersebut karena daerah tersebut dinilai telah terpisah dari masjid secara realita sehingga penamaan ‘pelataran masjid’ atau pun ‘halaman masjid’ untuk daerah ini hanya sekadar nama yang tidak didukung oleh realita. Oleh karena itu, ketentuan yang berlaku untuk daerah tersebut berbeda dengan ketentuan yang berlaku untuk daerah yang memang secara permanen dinilai bersambung dengan masjid.” (ferkous)

Catatan:

Dari uraian di atas, kita bisa membuat kesimpulan tentang status hukum halaman masjid.

Jika halaman masjid tersebut dikelilingi oleh pagar masjid maka daerah yang terletak di dalam pagar masjid itu terhitung masjid.Jika halaman masjid tersebut tidak dikelilingi oleh pagar masjid maka halaman masjid tersebut berstatus sebagai lingkungan masjid yang terlarang mengadakan transaksi jual beli di dalamnya, kecuali jika ada hal-hal yang menunjukkan bahwa halaman masjid tersebut sudah tidak lagi dinilai sebagai lingkungan masjid, semisal adanya jalan setapak yang memisahkan antara masjid dengan halaman tersebut. Dalam kondisi demikian, halaman masjid tidak dinilai sebagai lingkungan masjid, meski daerah tersebut dinamai dengan sebutan “halaman masjid”.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

=========================

Read more https://pengusahamuslim.com/2698-hukum-jualan-di-1435.html

HUKUM JUAL BELI DI MASJID AL MANHAJ

JUAL BELI DI KOMPLEK MASJID, MENJUAL BUKU-BUKU HAROKAH

   
Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyinggung masalah masjid. Salah satunya adalah jual-beli di dalamnya. Yang ana tahu, kalau ada transaksi di dalam masjid, maka hendaknya dido’akan agar tidak mendapatkan berkah.

1. Bagaimana hadits tersebut? Apakah sampai derajat shahih atau banyak yang meriwayatkannya?

2. Ada ustadz yang mengatakan, bahwa masjid dimulai dengan pagar atau gerbang. Oleh karena itu, berjual-beli di kompleks masjid terkena hadits itu. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa masjid itu di mulai dengan temboknya. Jika demikian, tidaklah mengapa berjual beli di teras, halaman, atau serambi masjid. Saat ini banyak pedagang yang menggelar dagangan mereka di serambi, di parkir, dan di komplek masjid. Sebenarnya, bagaimana batasan masjid yang dimaksudkan dengan hadits Rasulullah tersebut?

3. Bagaimana hukum menjual buku yang padanya terdapat kritikan ulama, seperti tafsir Sayyid Quthub, buku Jama’ah Tabligh, Fathul Mu’in dan atau buku harokah yang lain?
Abu ‘Ukasysyah, Jakarta

Jawaban.
1. Hadits yang melarang jual-beli di dalam masjid antara lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah ‘Allah tidak menguntungkan perdaganganmu’. Dan jika kamu melihat orang yang mencari barang hilang di dalam masjid, maka katakanlah ‘Allah tidak mengembalikan kepadamu’. [HR Tirmidzi, no. 1 321, Ad Darimi, no. 1.365. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Tirmidzi, no. 1.321; Irwa’ul Ghalil, no. 1.495, Al Misykah, no. 733]

Setelah membawakan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ

Sebagian ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci jual-beli di dalam masjid. Ini merupakan pendapat (Imam) Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama memberikan kelonggaran jual-beli di dalam masjid.

Al Mubarakfuri rahimahullah mengomentari perkataan Imam Tirmidzi rahimahullah : “Sebagian ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci jual-beli di dalam masjid di atas dengan perkataan ‘Ini adalah haq, berdasarkan hadits-hadits bab ini… Dan aku tidak mendapati dalil yang menunjukkan kelonggaran (jual-beli di dalam masjid). Dan hadits-hadits bab ini merupakan hujjah atas orang yang memberikan kelonggaran’.” [Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 1.321].

Termasuk yang melarang jual-beli di dalam masjid, ialah Imam Ash Shan’ani di dalam Subulus Salam, dan Syaikh Al Albani di dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathab, 2/691-695.

2. Adapun batasan masjid yang dilarang berjual-beli, apakah di mulai dari pagar (gerbang) atau dimulai dengan temboknya? Kami belum mendapatkan penjelasan yang tegas dari para ulama. Diantara perkataan ulama yang kami dapati, yang nampaknya juga berkaitan dengan masalah ini ialah:

Perkataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah : “Hukum serambi masjid dan yang dekat dari serambi adalah hukum masjid. Oleh karena itulah, kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mendapati baunya (yakni bau bawang putih atau semacamnya, Red) di dalam masjid, Beliau memerintahkan mengeluarkan orang yang didapati bau darinya menuju Baqi’, sebagaimana telah shahih di dalam (kitab Shahih Muslim. [Fat-hul Bari, penjelasan hadits no. 856].

Perkataan Al Hafizh tersebut, juga dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathab (2/665). Demikian juga Syaikh Salim Al Hilali, beliau mengatakan: “Hukum arena masjid dan yang dekat darinya adalah hukum masjid. Hal itu nampak di dalam perbuatan Nabi n mengeluarkan orang yang didapati darinya bau bawang putih, bawang merah, dan bawang kucai menuju Baqi’. [Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Shalihin, 3/197]
.
Hadits yang dimaksudkan oleh Al Hafizh di atas, yaitu mengenai khutbah Umar bin Al Khaththab pada hari Jum’at. Diantara yang beliau katakan adalah:

ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ

Kemudian sesungguhnya kamu -wahai manusia- makan dua tumbuhan. Aku tidak melihat keduanya, kecuali buruk, yaitu bawang merah dan bawang putih. Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , jika Beliau mendapati bau keduanya dari seorang laki-laki di dalam masjid, Beliau memerintahkan atas orang tersebut, lalu dia dikeluarkan menuju Baqi (pekuburan penduduk Madinah). [HR Muslim, no. 567].

Namun pendapat di atas -yang menyatakan bahwa arena masjid termasuk hukum masjid, atau batas masjid mulai pintu gerbangnya- jika hal itu dianggap sebagai hukum umum, akan mengandung beberapa kemusykilan. Antara lain, orang yang masuk arena masjid diperintahkan shalat tahiyatul masjid, sebagaimana ketika masuk ke dalam masjid!

Selain itu kita dapatkan hadits yang menunjukkan perbedaan hukum di dalam masjid dan di luar masjid. Antara lain:

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَا يُسْتَقَادُ فِيهَا

Dari Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hudud tidak ditegakkan di dalam masjid, dan tidak dilakukan qishosh di dalamnya”. [HR Ahmad dan Daruquthni. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini. Bahkan menyatakan sebagai hadits shahih lighairihi di dalam kitab Tsamar Mustathab, 2/698].

Hadits ini melarang menegakkan hudud di dalam masjid, tetapi kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan hudud di luar masjid. Dengan demikian terdapat perbedaan hukum antara di dalam masjid dan di luar masjid. Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Dan telah dikenal diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menegakkan hudud di luar masjid, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah dalam kisah Ma’iz”. [Tsamar Mustathab, 2/701-702]
.
Lalu Syaikh Al Albani rahimahullah juga membawakan hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْيَهُودِيِّ وَالْيَهُودِيَّةِ عِنْدَ بَابِ مَسْجِدِهِ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan rajam terhadap seorang laki-laki Yahudi dan seorang perempuan Yahudi di dekat pintu masjid Beliau”. [HR Ahmad, 5/261; Al Hakim, 2/453; dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tsamar Mustathab, 2/703].

Selain itu, kita juga dapati hadits yang dengan tegas menyebutkan kejadian berjualan di dekat pintu masjid.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Al Khaththab melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata: “Wahai, Rasulullah. Seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat”. [HR Bukhari, no. 886, kitab Al Jum’ah, Bab Memakai Pakaian Terbaik Yang Didapati].

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ

Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Umar bin Al Khaththab jubah dari kain sutera dijual di pasar, lalu dia mengambilnya, lalu membawanya kepada Rasulullah n dan berkata,”Wahai, Rasulullah. Belilah ini. Engkau berhias dengannya untuk hari raya dan untuk (menemui) utusan-utusan,” maka Rasulullah n bersabda kepadanya: “Sesungguhnya ini pakaian orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat)”. [HR Bukhori, no. 948].

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tersebut di dalam riwayat Malik dari Nafi’ sebagaimana telah lalu di dalam kitab Al Jum’ah, (yakni hadits no. 886, Red), bahwa hal (kejadian) itu berada di pintu masjid. Sedangkan pada riwayat Ishaq dari Nafi’ pada Nasa’i (disebutkan) “bahwa Umar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di pasar, lalu dia melihat baju”; kedua riwayat itu tidak bertentangan, karena ujung pasar bersambung ke dekat pintu masjid”. [Fat-hul Bari, syarh hadits no. 5841].

Ringkasnya, ulama berbeda pendapat tentang hukum jual-beli di dalam masjid. Yang rojih (lebih kuat) adalah terlarang. Ini berdasarkan hadits di atas dan lainnya. Kemudian larangan tersebut dengan tegas disebutkan berlaku di dalam masjid.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah ‘Allah tidak menguntungkan perdaganganmu’.” [HR Tirmidzi, no. 1.321; Ad Darimi, no. 1.365].

Adapun di serambi masjid, atau lokasi yang berada pada bangunan masjid, lebih selamat juga dijauhi. Sedangkan di komplek (arena) masjid, setelah gerbang masjid, kami tidak mendapatkan dalil yang melarangnya dengan tegas, sehingga kamipun tidak berani malarangnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Hujurat:1]

Namun, jika seseorang meninggalkan perkara yang belum jelas baginya atau meragukannya, tentu hal itu lebih baik bagi diri dan agamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu, karena kejujuran itu ketenangan, dan sesungguhnya kedustaan itu keraguan. [HR Tirmidzi, no. 2.518, dan lain-lain, dari Al Hasan bin ‘Ali, Arba’in Nawawiyah, hadits no. 11].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar, kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dari (meninggalkan) perkara-perkara samar itu, dia telah membersihkan untuk (kebaikan) agamanya dan kehormatannya. Barangsiapa jatuh di dalam syubhat (perkara-perkara yang samar), dia jatuh ke dalam yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembalakan di sekitar tanah larangan, hampir-hampir dia menggembalakan di dalamnya. Ingatlah sesungguhnya setiap raja memiliki tanah larangan. Ingatlah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah apa-apa yang Dia haramkan. Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati. [HR Muslim, no. 1.599, dari Nu’man bin Basyir. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh An Nawawi di dalam Arba’in Nawawiyah, hadits no. 6 dan Riyadhush Shalihin, no. 588]. Wallahu ‘alam.

2. Tentang hukum menjual buku yang padanya terdapat kesalahan atau kesesatan, di sini kami ringkaskan point-point yang dijelaskan oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman di dalam kitab beliau, Kutub Hadzdzara Minha Al ‘Ulama (1/25-53), dalam sub judul “Hukum-Hukum Fiqih Yang Berkaitan Dengan Kitab-Kitab Yang Diperingatkan Oleh Para Ulama”. Ringkasan hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

• Haram menjual buku-buku yang mengandung kemusyrikan.
• Haram menjual buku-buku khurafat dan sihir
• Tidak boleh menjual buku-buku yang banyak kesalahannya, (baik pada tulisan atau isinya), kecuali setelah diberi penjelasan.
• Haram menjual buku-buku (yang mengajarkan) jimat-jimat, mantra-mantra, penangkal-penangkal, rajah-rajah, dan menghadirkan jin.
• Haram menjual buku-buku puisi yang berisi celaan, arak, minuman keras (atau dendam), dan cabul.
• Haram menjual majalah-majalah fasiq (cabul) dan buku-buku yang mayoritas berisi penyimpangan-penyimpangan terhadap syari’at.
• Haram menjual buku-buku filsafat dan ilmu kalam (logika).
• Haram menjual buku-buku karya Al Hallaj dan Ibnu ‘Arabi, dan yang semacam keduanya dari kalangan orang-orang Shufi.
• (Disyari’atkan) menghancurkan kitab-kitab Ahli Bid’ah dan kesesatan.
• Keharaman memperdagangkan kitab-kitab Ahli Bid’ah dan kesesatan.
• Keharaman memikirkan buku-buku agama-agama lain, dan buku-buku ahli kesesatan dan bid’ah, kecuali bagi orang yang mengetahui keburukan yang ada di dalamnya untuk memperingatkan (umat) darinya.
• Keharaman membaca (membacakan) buku-buku ini (tersebut di atas, Red) di masjid-masjid dan tempat-tempat perkumpulan umum, dan (keharaman) meletakkannya di perpustakaan-perpustakaan umum.

Berkaitan dengan masalah ini juga, terdapat seruan terbuka dari Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali -hafizhahullah- kepada pengurus (pemilik) toko-toko buku, perpustakaan-perpustakaan pemerintah dan pribadi untuk meninggalkan buku-buku Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, Muhammad Al Ghazali, Yusuf Al Qardhawi, Abul A’la Al Mududi, Hasan Al Banna, ‘Umar Al Tilmisani, Hasan At Turabi As Sudani, Abdurrahman Abdul Khaliq, Muhammad Surur, Muhammad Ahmad Rasyid, Sa’id Hawwa, Salman Al ‘Audah, Safar Al Hawali, Nashir Al Umar, ‘Aidh Al Qarni, Mahmud ‘Abdul Halim, Jasim Al Muhalhil, dan murid-murid (Hasan) Al Banna, keluarga Quthub (yakni Sayyid Quthub dan Muhammad Quthub), (dan) semacam mereka dari tiap pemimpin atau orang yang menisbatkan diri kepada satu firqah di antara firqah-firqah yang melawan manhaj Salaf –banyak atau sedikit- dari bab-bab ilmu dan amal sepanjang masa ini. Hal ini, karena buku-buku, kaset-kaset, dan selebaran-selebaran mereka –yang namanya dituliskan di atas- di dalamnya terdapat perkara yang diterima (karena sesuai syariat-red) dan ditolak (karena tidak sesuai syariatred).

Kemudian Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali -hafizhahullah- menyebutkan contoh-contoh penyimpangan tulisan mereka satu persatu. [Lihat kitab Al Irhab Wa Atsaruhu ‘Alal Afrad Wal Umam, hlm. 128-142, karya Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali –hafizhahullah. Kitab ini dipuji oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dan Syaikh ‘Ali bin Muhammad bin Nashir Al Faqihi].

Ini semua, merupakan nasihat dari seorang ‘alim kepada umat Islam. Maka selayaknya umat menerimanya dengan senang hati dan syukur. Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Sumber: https://almanhaj.or.id/3072-jual-beli-di-komplek-masjid-menjual-buku-buku-harokah.html